1
Malam
itu tak pernah terbayang hujan begitu lebat, jalan begitu gulita, tak ada satu
orang pun yang berada di halte bis kecuali aku seorang. Begitu takut aku berada
disana, beribu pikiran negatif pun muncul di pikiran ku, pikiran itu tak henti
hilang terus saja mengikuti d kepalaku. Aku menunggu sangat lama untuk beberapa
bis datang di hadapanku, tapi hari itu susah sekali untuk melihat satupun bis
di depanku. Semakin tak jelas pikiranku. Sepanjang jalan tak ada juga satu pun
orang yang lewat. Aku pun mencoba berjalan sedikit berharap bis di depanku.
Semakin jauh aku berjalan, semakin jauh pula dari halte itu. Tak kuat lagi
untuk berjalan, serasa mau tergeletak di tanah.
Dari ujung jalan terlihat lampu
senter kuning mobil bagian depan bersinar, sianaran itu semakin tajam terlihat
dan semakin mendekat, begitu sinar itu mendekat aku sudah tergeletak di tanah.
Seorang pria keluar dari mobil tersebut dan berusaha membangunkan ku, aku tetap
saja tak bisa bangun, susah rasanya untuk bangkit. Langsung saja pria itu
membawaku ke dalam mobil. Si pria itu bingung mau bawa kemana aku, sedangkan
aku dan si pria itu tak saling sapa, belum pernah kenal sekali pun. Di
pertengahan ujung jalan, si pria itu mencoba untuk membangunkan ku. Sedikit
demi sedikit aku mencoba berusaha bangun, bangun untuk sadar. Akhirnya ku bisa
sadar juga, dan si pria itu langsung senyum dan menanyakan alamat dimana aku
tinggal. Aku tak langsung menjawab, aku malah bingung gak karuan, entah ada
dimana aku. Tapi si pria itu berusaha mencoba menjelaskan bagaimana aku bisa
bersama si pria asing itu. Ternyata pria asing itu seorang seperti malaikat
penolong yang tersesat di kehidupanku untuk menjadi dewa penolong. Senyumannya
begitu indah dan polos. Dengan masih bertubuh lemas aku pun mencoba mengucapkan
“terima kasih” dengan senyuman yang amat lemas. Pria itu mananyakan dimana
letak istana ku. Dan aku menuntunnya untuk menuju ke istana ku yang sangat
indah. Di perjalanan aku dan si pria yang blum ku tahu siapa namanya, mengobrol
asik seperti sudah kenal sebelum itu. Tak terasa waktu yg berada di tanganku
jarum kecil menunjuk angka 11. Begitu sunyi disana. Sampai di depan komplek
istana ku, dia baru menanyakan siapa namaku. Hal yang paling aku tunggu untuk
keluar dari mulutnya. Setelah ku menjawab pertanyaannya siapa namaku “Nindy”,
aku berbalik bertanya siapa nama malaikat penolong yang ada disebelahku saat
ini. Ternyata dia adalah “Reza”. Seorang mahasiswa teknik elektro dan juga
pengusaha café kecil-kecilan. Begitu baik dan ramah si malaikat penolong itu.
Ketika ku turun dari mobilnya, aku tak boleh untuk turun. Dia membukakan pintu
seperti yang ada di film-film. Hanya ucapan “thanks” yang dapat aku katakan.
Pria itu tersenyum “urwell and nice to meet you”. Aku berbalas senyum nya. Saat
ku masuk ke dalam istanaku, dia juga meninggalkan tempat dimana, dia
mengantarku untuk pulang.Tak bisa ku hilangkan bayangan senyum itu. Malam
terindah yang ku alami. Aku kembali melirik jarum kecil di tanganku. Ternyata
jarum kecil itu berhenti di angka 12 lewat hampir menengahi di angka 1. Dan aku
pun lupa kalau besok, aku harus berada di kampus pukul 08.00 untuk menghadap
dosen yang sangat disiplin killer nya tiada yang menyaingi. Kostum ku sudah
berganti piama. Saat untuk beristirahat di tempat yang terindah. Dan aku pun
tiba-tiba memunculkan kata-kata “selamat malam” untuk seorang malaikat penolongku,
meski telah ku tahu namanya “Reza” tapi aku tetap saja memanggilnya si malaikat
penolong karna bagiku dia seperti malaikat yang dikirim Tuhan untukku. Dan aku
memohon kepada Tuhan agar aku bisa menjumpai dirinya kembali, aku ingin
membalas kebaikan yang telah dia beri kepadaku. Dan doaku pun untuknya “Tuhan
jika di perkenanku, aku ingin bertemu dengannya kembali, jika itu kehendakmu ya
Tuhan aku ingin membalas kebaikan yang telah dia beri untuk ku, itu saja Tuhan,
thanks God.” Jarum kecil berhenti di angka 2, begitu terkejutlah aku, tapi aku
tak bisa memejamkamkan mata ini. Kuputuskan untuk mengambil wudhu menghadap-Mu
sejenak dalam tahajud. Dalam tahajud itu pun aku kembali mengucapkan itu,
karena Tuhan tempat yang tenang untuk meluangkan isi hati. Tahajud selesai ku
lakukan dan aku kembali untuk mencoba mengistirahatkan mata dan tubuh ini untuk
hari esok. Dan tak lupa ku pasang alarm agar ku tak kelewatan untuk bergegas melihat
sang mentari pagi yang tersenyum indah.
Krrrriiiiinnnggggggggg… alarm
yang ku pasang berbunyi tepat pukul 7
lewat 15 dan handphone ku tak berhenti untuk berdering. Layar handphone
memunculkan nama Difani. Difani adalah sahabat terbaik yang pernah aku punya.
Difani terus saja membuat handphone
ku bordering. Dan 1 message pun memenuhi layar handphone ku. Lagi-lagi Difani.
“Nin, buruan gua udah di depan rumah loe.” Mobil Difani terus saja mengklakson
di depan rumahku yang membuat berisik satu komplek.
Aku pun menengok jarum yang ada di
tangan ku, ternyata jarum itu sudah berada di angka 7 lewat 20. Aku sudah
mengira Difani bakalan mengomel gak karuan.
Masuklah ku kedalam mobil Difani.
Sudah kuduga, begitu masuk aku disambut dengan omelan panjang si Difani. “Dari
mana aja sih loe, super duper lama ?”. Ya
memang aku yang salah, aku sudah membuat Difani menunggu lama. Ingin rasanya
dalam benakku menceritakan hal yang kualami semalam. Tapi dalam hatiku berkata
“Jangan dulu Nin, ini belum saatnya Difa tau tentang yang semalam.” Aku pun
mengurungkan niat untuk bercerita. Tapi Difani melihatku dengan wajah bingung
ketika melihatku seperti orang gelisah. “Kenapa sih loe Nin kayak orang bingung
gitu?” jawabku dengan nada pelan dan ragu “Gak ada apa-apa kok Dif, santai
aja.”
Untung jalanan gak begitu macet. 8
kurang 10 sampai sekolah tercinta. Kita langsung menuju tempat dimana dosen
yang kita mau temui. Ruang di lantai 4, dimana disitu tempat kita semua menemui
dosen itu untuk mendapat sepercik ilmu yang mungkin bisa kita serap dari dosen
itu. Meski dosen belum datang kita masih setia untuk menunggunya sampai datang
ke tempat yang sudah kita setujui bersama.
Hampir setengah jam menunggu. Dan
tak ada tanda-tanda kehadiran beliau.
10 menit setelah setengah jam itu,
akhirnya beliau datang dan beliau meminta maaf karena telah mengingkari
kesepakatan yang disepakati bersama itu. Dan beliau memulai membagikan sepercik
ilmu yang beliau punya untuk kita serap.
60 menit yang berkesan telah
berlalu. Dan perutku terasa lapar karena pagi ini belum sempat sarapan. Aku dan
Difani menuju kantin untuk membeli makanan untuk mengganjal cacing-cacing yang
sedang berdemo dalam perutku ini.
Saat ku menikmati makanan yang
kupunya, sepintas nama Reza pun lewat dalam pikiranku. Aku seperti dihantui
oleh bayangan seorang Reza. Kejadian semalam membuat ku tak bisa menghilangkan
bayangan ku dari seorang yang bernama Reza. Tiba-tiba tak nafsu makan lah aku
gara bayangan seorang Reza. Dan Difani melihat seperti tak biasanya aku seperti
ini. Tapi Difani tak menanyakan kenapa aku seperti ini hanya melihatku dengan
tatapan yang cukup aneh.
Dalam pikiran ku hanya terlintas
seberkas nama sederhana dari seorang yang bernama Reza. Reza Reza dan Reza
hanya itu saja. Simple panggilan nya tapi bagiku nama itu sangat istimewa.
Nama itu telah membuat ku sangat
kebingungan tak karuan. Aku hanya berpikir, padahal aku belum lama mengenal dia
tapi ada yang aneh dalam pikiranku untuknya. Sebuah pikiran yang tak biasa.
Dengan cepat dan segera ku habiskan
makanan ku. Dan langsung capcus menuju istana tercinta ku.
Di dalam
mobil…
Pertanyaan
itu pun akhirnya keluar juga dari mulut Difani. “Nin loe gak knapa-knpa kan ?”
dengan expresi muka yang sangat kebingungan. Ku hanya menjawab dengan
tersenyum. Aku tahu pasti dalam pikiran Difani masih bertanya-tanya ada apa
denganku. Diam diam dan diam hanya itulah aktivitas yang kulakukan di sepanjang
jalan hampir tak mengeluarkan satu huruf pun. Makin bingunglah sahabatku.
30
menit di dalam mobil, ternyata Difani tak membawaku ke istanaku. Dia membawaku
ke sebuah tempat. Tempat itu seperti bukit. Sunyi, sejuk, hening. Sangat cocok
untuk seorang yang ingin menyendiri dan ingin merenungkan suatu hal.
Di
tempat itu ku bayangkan sosok malaikat itu, sosok yang sangat ku kagumi. Reza
lagi Reza lagi, sepertinya hanya satu nama itu yang aku pikirkan. Kenapa harus
Reza coba yang terlintas dipikiran ku, kenapa harus Reza yang muncul, sungguh
satu nama itu membuat ku bingung. Ingin rasanya aku bertemu lagi dengan sosok
malaikat penolong ku itu. Tapi apakah itu mungkin terjadi. Aku ahanya bias
berharap pada Yang Maha Kuasa agar ku bias dipertemukan dengan sang malaikat ku
itu. Tuhan pasti mendengarkn doa yang aku inginkan.
Di
tempat ini aku pun bisa tenang. Difani emang sahabat terbaik yang ku punya, dia
tau apa yang ku mau. Aku suka tempat ini, bisa untuk rileks menenangkan diri,
besok besok kalau ingin rileks disini tempatnya lebih nyaman. Terima kasih
Difani karena telah membawa ku ketempat seperti ini. J
2
Malam
hari itu sangat lah dingin, angin berhembus sangat kencang, hawa nya sangat
menyeramkan sampai membuat bulu kuduk ku
naik dan badan terasa gemetaran semua. Mana aku dirumah sendirian. Tapi tenang
semua akan baik baik saja tak ada masalah disini. Setelah ku meyelesaikan semua
pekerjaan sekolah ku yang bejibun, aku langsung membereskan nya dan aku
langsung menuju bilik kamarku untuk beristirahat. Tapi baru saja aku mau
merebahkan badanku, Difani tiba tiba menelpon ku. Seperti biasa dia menggosip
ria padahal malam itu aku sedang tak ingin mendengarkan apa yang dia katakan.
Tapi apa boleh buat aku terpaksa untuk mendengarkan celotehan dia.
Hampir
2 jam dia mengoceh akhirnya dia selesai juga dengan coletehan nya yang super
duper dahsyat itu. Setelah dya mengucapkan kata bye dan see you, aku langsung
mematikan hanphone ku dan kembali
untuk merebahkan badanku ini.
Keesokan paginya…
Aku terbangun di pukul setengah 6,
rasa malas masih menghantuiku untuk bangun dari tempat yang paling nyaman di istanaku ini. Tapi, aku harus
memaksakan untuk bangun agar Difani tidak nenunggu terlalu lama.
Seperti
yang sudah kuduga sahabat ku menghampiriki lebih awal dari biasanya untung saja
aku sudah siap kalau tidak dia bakalan ngomel-ngomel lagi.
Di
dalam mobil ku berpikir, apakah ini saat nya aku menceritakan tentang malaikat
itu kepada Difani. Tapi kalau tak cerita aku yang tak enak sendiri tapi kalau
cerita bisa-bisa heboh deh. Hmmmm,ya udah lah kapan-kapan aja tapi pasti aku
ceritakan kepada Difani tapi bukan sekarang ini bukan waktu yang tepat untuk
cerita.
Sampai
lah di kampus
tercinta. Aku dan Difani bergegas untuk masuk ke dalam kelas. Ternyata di dalam
kelas baru ada beberapa
mahasiswa
saja, tak apa-apalah dari pada telat.
Sejam sudah ku berada di kelas.
Waktu itu adalah mata kuliah yang gak
ku suka banget. Sebenernya waktu nya sih
2 jam tapi dosen nya beri diskon waktu katanya sih ada urusan atau apa gitu,
tapi buatku sih yang penting diskon waktu nya entah alasan nya apa aku gak
begitu peduli, tapi tiba-tiba rasanya perut aku sakit ya, rasa nya perih
banget. Oh y aku baru ingat kalau tadi pagi aku belum sempat sarapan. Difani
melihat ekspresi mukaku yang kelaparan dia langsung berhenti disebuah kafe
deket situ. “ya udah yuk Nin kita makan dulu liat tu mukelu kayak muke kebelet.”
Difani says. Difani mengajakku makan d kafe itu.
Setelah kita duduk disalah satu
tempat duduk disitu, dan memasan sesuatu. Tiba-tiba tanpa sadar ku melihat
seperti sosok malaikat penolongku waktu itu, tapi raut wajahnya tak begitu
jelas pula tapi aku yakin itu pasti malaikat ku.
15 menit berlalu dan akhirnya
makanan yang dipesan datang juga. Aku makan dengan ekspresi masih tak percaya
dengan yang aku liat barusan.
“Nin, lo kenapa sih makan sambil
ngelamun gitu ?” Difani menanyakan sambil kebingungan gitu. “Oh gak apa-apa kok
Fan, aku cuma bingung aja. Aku memasang muka kayk orag kebingungan gitu.
“Bingung kenapa coba ?” Difani tambah bingung.
“Fan
lu ngeliat cowok yang lewat sini pakek baju merah gak ?”
“Ya
elah Nin banyak kali yang pakek baju merah lewat sini, emang kenapa sih lu Tanya begituan ?”
“Gak
pa-pa kok Fan!”
Tapi dalam benak ku, aku yakin kalo
cowok yang memakai baju merah itu adalah sosok seorang yang membuat hidupku
lebih indah meski aku baru bertemu dalam sekejap tapi aku sudah merasakan hal
yang tak seharusnya aku rasakan untuknya.
Kami telah menyelesaikan hidangan
kami. Kami langsung menuju ketempat dimana Difani memakirkan mobilnya.
Di depan pintu sosok berbaju merah
itu ternyata lewat d sebelahku, dan tanpa sadar aku menyebutkan nama “Reza”
dengan ekspresi terkejut. Sosok pria itu menoleh kepada ku hanya dengan tersenyum dan langsung saja
pergi tanpa berbicara apa-apa. Ku tinggalkan Difani berjalan menuju mobil
sendirian demi mengejar pria itu.
“Reza
kan, kamu masih ingat aku kah, ? aku yang kamu tolongin waktu itu ?”
“Iya
masih, kenapa ? apa yang bisa dibantu?”
Jawaban dari si pria itu seperti
cuek tak menghiraukan akan keadaan ku yang ingin menyapanya sebentar saja.
Dalam hati rasa sebel untuk si pria itu muncul secara tiba-tiba. Aku langsung
meninggalkan pria itu dan lansung menuju mobil, ku membuka dan menutup pintu
mobil dengan rasa marah gak karuan. Ku banting pintu mobil Difani. Difani pun
heran melihat kelakuan ku yang seperti itu.
Dalam pikiran ku juga, aku tak mau
kenal dan aku gak mau tau apapun juga yang berhubungan dengan yang namanya
Reza. Bagiku Reza adalah malaikat yang berubah menjadi seseorang yang
menyebalkan, seseorang yang gak peduli akan sekitar, seseorang yang bagiku
sangatlah menjengkelkan dan tak patut untuk dikenal lagi.
Sampai di rumah aku langsung menuju
kamar ku, tanpa menghiraukan apapun.
Tapi baru ku sadari malam ini rumah
ini begitu sepi sejak kepergian mereka, orang tuaku.kepergian papa dan mama ke
Amerika untuk mengembangkan bisnis kelurga. Rumah ini seperti tanpa penghuni
cuma aku dan bibi disini.
3
Hari ini tak ada kuliah, aku ingin
jalan-jalan sendirian tanpa orang yang menemani maka dari itu aku tak memberi
tahu sahabatku kalau aku ingi jalan-jalan. Ku setir sendiri mobil ku kemana pun
ku mau. Tiba-tiba ku tertuju di sebuah mall dan aku berhenti dan memakirkan
mobilku disana.
Jarum jam kecil ditangan ku tertuju
pada angka 11. Berarti kesempatan jalan-jalanku masih lama. Ku susuri setiap
lorong mall. Dan tiba-tiba aku merasakan capek dan aku berhenti disebuah foodcourt dan memesan sebuah camilan
untuk menemaniku selama ku beristirahat. Dan pada saat ku memaikan HP ku,
seorang pria menghampiriku. Tak disangka-sangka dan aku pun terkejut ternyata
yang menghampiriku adalah Reza.
“Ngapain
lo disini!”
“Emang
kenapa, gak boleh kah ?”
“Ya
terserah lo sih ni kan tempat umum juga kan, yang gua tanyain kenapa juga lo
duduk disini sementara masih banyak kursi yang kosong disini!”
Aku menjawab pertanyaan Reza dengan
nada ketus biar tau rasa dia nya.
“Aku
boleh minta nomer kamu gak ?”
“Buat
apaan lo minta nomer gua!”
“Ya
gak apa-apa sih, tapi kalo gak boleh juga gak apa-apa, aku juga gak maksa kok.”
Tanpa berpikiran apapun aku pun
langsung memberikan kartu nama ku dan Reza pun langsung pergi meninggalkan
tempat dimana aku dan Reza sempat duduk bersama. Tangan ku taruh di jidat dan
sambil berkata lirih “Bego! Bego kenapa coba gua langsung kasih kartu nama gua
ke dia!”
Dari kejauhan Reza seperti memberi
kode tapi entah apa yang dikatakan Reza, dan ternyata dia ingin mengajakku
makan malam besok, dan betapa syok nya aku ketika dia berbicara seperti itu.
Seorang Reza gitu ternyata bisa seperti itu.
Diperjalanan pun aku masih berpikir
kok bisa aku diajak oleh seorang yang bernama Reza yang ternyata bukan seorang
malaikat lagi buatku untuk diajak makan malam. Dalam pikiranku terus
beranya-tanya akan hal itu.
Sesampai dirumah ternyata bibi telah
menunggu ku dengan rasa cemas karena aku pergi tak pamit dengan bibi.
“Aduh
non kemana aja sih, bibi cemas sekali non Nindy gak pamit sama bibi tadi, non
gak apa-apa kan ?”
“Hehehe,
maaf bi tadi saya pingin jalan-jalan lupa pamit sama bibi, iya saya gak apa-apa
kok bi.”
“Oh
ya non tadi bapak telpon nanyain non kemana dan gimana kabar non Nindy. Makanan
juga sudah saya siapkan di meja non.”
“Oh
ya bi, makasih.”
Setelah makan malam aku langsung
menuju kamar dan tanpa sadar aku terus memandangi layar HP ku berharap Reza
akan menelpon tapi rasa nya tak mungkin.
Layar HP ku menyala dan berdering
semoga saja yang menelpon Reza. Saking senengnya HP bordering tanpa aku melihat
siapa yang menelpon langsung saja aku
angkat telpon itu. Tapi ternyata itu bukan Reza tapi Difani, ah kecewalah aku.
Reza gak bakalan telpon deh.
Malam yang ku tunggu-tunggu akhirnya
datang juga. Bibi pun heran ketika melihatku berpakaian rapi seperti ini. Aku
memakai gaun berwarna merah hati dan sepatu highells hitam. Baru kali ini aku
berdadandan seperti ini, berdandan ala kadar nya seorang cewek. Mana pernah
selama ini gua dandan kayak gini. Gua juga mikir kenapa gitu kok gua mau mau
nya y dandan kayak gini buat demi seorang cowok yang namaya Reza.
Setelah setengah jam menunggu akhir
nya ada suara klakson mobil yang memanggil ku. Bener itu ternyata si Reza. Aku
langsung terpaku pada mobil silver Reza.
Reza
sepertinya heran ketika melihat penampilanku malam ini. Y sudahlah aku pura
pura saja tak memperhatikan keheranan Reza.
Makan
malam bersama Reza, pertanyaan yang selalu ada dalam pikiran ku dan aku pun
susah untuk menerangkan alasannya mengapa.
Reza
menatapku dengan rasa heran.
“Kenapa
loe ??”
Reza
heran dengan sikapku tapi kali ini nada suara Reza lembut banget tak seperti
biasa nya. Dan aku membalas pertanyaan
Reza hanya dengan menggelengkan kepala.
Aku
dan Reza pun telah sampai d sebuah restaurant yang cukup ternama di Jakarta.
Saking
bingung nya, apapun yang dikatakan oleh
Reza, aku iya in aja. Sampai menu pun Reza yang pilihin. Aku disini seperti
orang bingung, linglung, dan gak ngerti apa apa.
Disaat
makan pun tanpa ku sadari dia pun memperhatikan ku dengan senyuman nya yang tak
jelas itu. Aku semakin bingung dan berusaha membuang muka agar Reza berhenti
memperhatikan ku.
Setelah
makan aku pun bertanya pada nya.
“kok
bisa ya, gua disini sama loe, seorang Reza gitu ?”
“Ya
bisalah gua bisa ngajak siapa aja yang gua mau, rata rata g ada yang nolak kalo
gua ajak jalan.”
Jawaban Reza mengagetkan ku,. Dalam
hati pun aku merasa. “Idih sumpah ya ini cowok nyebelin banget, super duper
kepedean pula. Amit amit deh, najis tralala.”
“Buktinya
loe mau kan gua ajak jalan, berarti bener kan gua dan emang kenyataan nya
gitu.”
Setelah Reza ngomong seperti itu
semakin males lah aku. Jadi keburu pulang aja, aku males lama lama disini natap
muka dia.
Aku bukan nya tak menghargai dia
karena telah mengajakku jalan tapi perkataan nya dia yang super duper nyebelin
dan kepedean yang membuatku malas berlama lama disini.
Dua
jam aku bersama nya. dua jam pula aku
merasakan hal yang sebenarnya tak ingin aku rasakan. Malam itu sebenarnya
adalah malam usang karena terasa hampa dan
terasa suram. Tapi ku pendam itu semua.
Bener bener tanpa satu katapun kita
ucapkan di makan malam itu. Rasa nya
ingin sekali untuk memulai pembicaraan tapi hati ini seakan selalu menolak
untuk bicara. “Jangan bicara dulu ndy,
gengsi dong loe kan cewek masa ngomong duluan sih.” Kalimat itu seolah olah
selalu menhantui ku.
Malam itu berakhir dengan tak
menyenangkan. Kita datang, terus makan tanpa ngobrol satu patah kata pun lalu
pulang begitu saja. Sampai dia nganterin depan rumah pun juga gitu. Dia hanya
mengucapkan kata thanks dan bye doank. Dalam hati pun aku bergumam.
Ya ampun segitu ngirit ngomong nya y dia sampai seperti itu.
Begitu aku masuk istanaku dan
langsung menuju tempat terindahku yaitu my small room, aku memekirkan sesuatu d
tempat itu. “Kalo dia ngajakin gua keluar cuma buat gituan doank gak ada
pembicaraan satu pun, ngapain juga dia ngajakin gua mendingan gak usah deh,
nyesel pakek banget dah gua mau diajak sama dia makan sama dia. Besok besok g
ada kata makan malam yang suram lagi suram lagi bareng dia, suer deh!”
Aku pun melihat jam yang terpajang
di dinding, dia menunjuk di angka antara 9 dan 10. Dan sialnya aku baru ingat
besok ada ulangan. “OMG, gua baru inget kalau besok ada kuis, ya ampun kok bisa
lupa sih gua. Mati lah gua besok!”
4
Sengaja pagi pagi ku sudah di kampus
agar ku bisa membuka apa yang ku pelajari semalam karena semalem pun ntah yang
ku pelajari untuk kuis hari ini masuk apa tidak. Tiba tiba si Difani
menghsmpiriku. “Gimana semalem? Sukses kah ?
“Sukses
? sukses apaan, sukses apanya.
Gila ya semalem itu adalah malam yang super duper buruk yang pernah gue alami
selama ini. Males gue kalo inget inget semalem.”
“Ih
kenapa gitu bukan nya seru ya bisa dinner dengan seorang yang bernama Reza
gitu?"
“Gak
sama sekali, gua males udahlah gua males ngomongin dia lagi.”
Setengah jam berlalu bu dosen pun
datang dengan memebawa beberapa lembar kertas.
Dalam hati gua, gua udah pasrah lah
dengan keadaan, mau dijawab apa juga gak tau lah. Bener bener pakek ilmu
insting lah kali ini.
sepuluh
soal ku jawab dengan waktu lima belas
menit. Waw amazing banget kan tapi ntah kebenaran nya gimana itu jawaban. Yang
penting udah terbebaslah dari kuis.
Ccuuussss
cannteeenn, sumpek gua disini..
Mie ayam canteen ternyata bisa
menenangkan ku ya mungkin untuk saat ini lah. Kunikmati mie ayam ku, tak
kusadari bayangan Reza hadir sekilas membuat nafsu makan ku ogah ogahan. Kenapa
coba semalem harus kuingat ingat lagi.
Ah Difani datang. Hari ini kok gua
rasanya males banget ketemu dan bicara
dengan Difani. Tapi ya jangan lah bisa perang dunia lah ntar. Biarin lah Difani
duduk disampingku.
“Sayang apa kabar denganmu disini ku merindukan kamu!” I-ring
handphone ku bordering. Eh ternyata cowok yang super duper nyebelin itu. Difani
memaksaku untuk mengangkat. Tapi aku sama sekali nggak berminat.
“Angkat
dong ndy telpon dari Reza.”
“Ogah,
males banget. Trauma gua sama dia.”
“Ayolah
ndy angkat aja siapa tau dia mau minta maaf.”
Ku angkat telpon Reza dengan rasa
malas dan terpaksa. Kalau tak dipaksa oleh Difani udah males banget gua
ngangkatnya.
“Hallo.”
dengan nadaku yang super duper jutek.
“Hallo,
Nindy. Ndy gua minta maaf kejadian semalem.”
“Semalem?
Emang ada apa semalem??”
“Ya
elah ndy jangan gitu lah, gua bener bener mau minta maaf sama loe. Sebagai
keseriusan gua minta maaf gimana kalo kita satnite besok kita dinner lagi. Kali
ini gak lagi deh kayak kemarin.”
“Halah
omdong doang loe.”
“Gua
janji deh.”
“Yahh
liat besok aja deh.”
“Jadi
? lu mau dinner bareng gua.”
“Entah
deh!”
“Yeessss,
ya udah gua jemput jam 7 ya. Bye!”
Diffani ternyata penasaran dengan obrolan
ku dengan Reza lewat telpon.
“Gimana
ndy ?”
“Gimana
apanya?”
“Ya
si reza lah masa pak rektor sih.”
“iyyaa
dia ngajakin gua dinner lagi sih.”
“Terus,
terus lu jawab apa.”
“Ya
gua jawab gimana nanti aja. Ya udahlah balik yukk, gua lagi males lama lama di
kampus ini.”
Aku bersama Difani menuju parkiran
mobil. Bermaksud langsung pulang tanpa pun harus mampir satu tempat pun. Tapi
kenapa sih dalam situasi seperti ini hanya nama Reza yang hadir dalam benak ku,
padahal aku tak sama sekali menginginkan kehadiran nya dia disini. Wah bener
bener bener seorang ya seorang Reza bisa buat gua kayak gini. Padahal dia gak
ada asik asik nya sama sekali coba.
“ndy
ndy nindy!”
“eh
y iya, kenapa?”
“loe
kenapa sih??”
“oh
gua, gua gak pa pa.”
Difani membangunkan lamunan ku
dengan suara nya yang menggelegar.
“habis
ini kita mau kemana?”
“hmm
langsung pulang aja deh.”
“yakin?”
“ehemm.”
Di kamar, tanpa ku sadari aku selalu ngeliat
kalender yang terpajang di tembok kamar gua. “sekarang hari rabu, berarti kamis
jumat sabtu 3 hari lagi donk gua keluar sama Reza. Oh My God, ada mimpi buruk
apa lagi besok gua begitu dinner sama dia.”
3
hari itu telah berlalu. Welcome bad Saturday. Gua ngomong kayak gitu karena ada
alasan nya karena ntar malem gua bakalan satnite bareng seseorang yang super
duper nyeselin. Layar handphone gua nyala ternyata 1 message from Reza. “Jangan
lupa ya nanti malam, gua jemput jam 7, okey.” Message itu hanya ku pandang
doank untuk ku liat saja. Dan tiba tiba gua mikir juga, gua pakek baju apa coba
buat ntar malem. Setelah ku pandangi beberapa koleksi gaun ku, aku pun tertuju
pada salah satu gaun hitam berhias sabuk merah tali hitam tipis. Gaun ini
mungkin yang mungkin cocok buatku malam ini.
Dan
aku pun tinggal mencari pasangan nya untuk gaun ku. Sepatu hitam dan kalung
bercorak montai hitam kecil-kecil. Aku ngerasa kok ada yang aneh dengan yang
aku pakek. Tapi ada yang bagus juga. Jadi bingung lah aku dengan penampilan ku
sendiri. Aku pun berpikir, apa suka Reza dengan penampilan ku. Tapi masa bodoh
toh aku juga gak berniat buat pergi satnite sama dia.
Reza
Reza dan Reza itu nama yang ku tunggu untuk malam ini. Hamper setengah jam aku
menunggu nya di teras rumah. Aku menunggu dengan gelisah. Gelisah akan Reza.
Reza
datang Oh My God posisi ku harus
bagaimana ini ? aku tiba tiba saja ded-degan saat Reza memakirkan mobil depan
pagar rumah ku dan mau menjemputku di teras rumah.
Reza
masuk dan menatapku dari bawah sampai atas seperti hal nya seseorang yang
terpesona ketika melihat keindahan. Aku melihat pandangan Reza ketika melihatku
seperti antara rasa takut dan senang.
“Yuk
sekarang.”
“Emang
kita mau kemana sih?”
“Udahlah
gak usah bawel ikut aja.”
“Idih
mau ngomong gak, kalo gak kita gak jadi pergi.”
“Widih
judes amat y, hahaha. Udah tenang aja pasti tempatnya seru kok.”
Di dalam mobil ku pasang muka judes
dan tak enak untuk nya. Begitu nyebelin nya dia, tapi….
Sampai di suatu tempat.
“Sampai
deh kita.”
“Loe
bawa gua kemana?”
Masuk lah kita. Reza membuka pintu
mobil untuk ku. Ternyata dia membawa ku ke sebuah café musik jazz. Tempat itu
begitu tak kudugu, tak pernah ku sangka.
Duduk, Reza memesan sesuatu untuk
menemani kita malam ini dan yang lebih mngejutkan nya lagi, kita mala mini di
temani dengan musik jazz yang begitu mengagumkan.
Tak lama kemudian pesanan kita
datang. Makanan yang di depan tampak nya biasa tapi ada sesuatu yang membuat
makanan ini beda. Mungkin gara-garanya di depan ku seorang Reza. Dan tak ku
sangka Reza menyuapkan sedikit makanan nya untuk ku, itu yang membuat diriku
semakin bingung.
Di tengah dinner kita, Reza ingin
mengatakan sesuatu, yang aku takutkan Reza menembak ku kalo itu benar terjadi
aku belum siap.
Tapi ternyata….
“Nin,
aku mau bicara sesuatu sama kamu.
“Apaan? Serius amat kayak nya ?”
“Nin,
jika aku tak lagi di hadapan mu kau jangan mencariku. Tunggu aku yang
mencarimu.”
“Ma..ma..ma..maksud
loe, gua gak ngerti apa yang loe omongin za.”
“Suatu
saat kamu pasti ngerti apa yang aku maksud.”
“nggak,
nggak jelasin dulu apa yang loe maksud tadi, plis jelasin ke gua.”
(hening) Reza pun hanya tersenyum.
Senyum Reza hanya membuatku semakin bingung aja. Apa sebenernya yang Reza mau ?
21.00 kami pulang. Pulang dengan
perasaan bingung dan bertanya-tanya.
“Nin
kamu kenapa, udahlah gak usah dipikirin ya yang aku omongin tadi, lupain aja.”
“Idih
siapa juga yang mikirin, kepedean amat sih.”
Terpaksa aku berbohong untuk
menutupi itu semua. Sampai ku dirumah, aku turun dari mobil Reza tanpa bicara
satu kata pun untuknya. Masuk. Ku meninggalkan nya.
Di kamar pun aku bertanya-tanya ada
dengan Reza? ada apa dengan sikap Reza?
Layar HP menyala. Sudah kuduga pasti
itu Diffani.
“Hallo
beb.”
“iya
fan, ada apa?”
“Eh
ceritaiin donk beb tadi gimana dinner loe sama Reza.”
“Besok
aja y fan gua ceritain, gua bener-bener capek hari ini, bye fan.”
5
Seperti biasa setiap pagi Diffani
menjemputku dan sudah kuduga pasti dia menanyakan tentang apa yang terjadi
semalam antara aku dengan Reza.
“Gimana
dinner loe sama Reza semalem?”
“Dinner
? apaan sih orang cuma makan malam biasa.”
“Iya
deh, tapi gimana sukses kan”
“ya
gitu deh.”
Sampai di kampus pikiranku langsung
menuju ke Reza. Aku tak melihatnya pagi ini. Malaikat itu apa sudah tidak hadir
lagi di kehidupanku. Masih ku sebut dia malaikat. Apa dia sudah hilang, apa dia
sudah tiada? aku ingin sekali melihat senyuman malaikat itu, aku ingin sekali
melihatnya. Pikiran ku semakin kuat untuk Reza. Ku
bertemu dengan teman Reza dan tak ku hilangkan kesempatan ini untuk bertanya
tentang Reza.
“Eh
misi loe tau gak si Reza kemana. Kok gua gak liat dia pagi ini ya.”
“loe
gak tau?”
“Tau
apa?”
“Kan
si Reza udah pindah ke luar negeri sama keluarga nya?
“Apa?
Gak mungkin, loe pasti bercanda kan, dia gak mungkin pergi?”
“Seriusan,
dia baru berangkat pagi ini.”
Ku mulai merasa aneh saat teman Reza
bicara seperti itu. Hati rasa retak, jantung terasa berhenti sejenak, air mata
ini serasa ingin jatuh. Dan aku mulai menyadari ternyata ini maksud dari
perkataan Reza semalem. Ku meninggalkan Diffani untuk menuju ke toilet. Ku
menangis mentap jendela mengingat Reza.
“Apa
sih za yang loe mau? Kenapa loe ninggalin gua dalam keadaan kayak gini? Kenapa
disaat gua mulai ada rasa sama loe, loe ninggalin gua. Kenapa za, kenapa? Gua
benci sama loe za, gua benci!”
Aku menangis dalam keadaan benci
marah dan sedih.
Hampir
sejam aku berada di toilet menangisi Reza, aku juga bingung kenapa gua nangisin
Reza sedangkan gua bukan siapa-siapa nya Reza. Loe bener-bener udah ngancurin
hidup gua za, terutama hati gua. Tapi….
Akan
ku hapus air mata ini sebagai simbol dan tanda aku akan melupakan Reza,
melupakan semua memori tentang Reza. “Reza loe bisa ninggalin gua, kenapa gua
gak bisa ngelupain loe. Mulai sekarang gua akan ngelupain semua tentang loe!”
Aku
harus bisa, aku harus bisa melupakan Reza dan memulai dengan istilah yang baru.
Selamat tinggal.
Keluar
ku dari toilet, menuju ke ruang kelas dan ternyata tangisan ku tadi membuat ku
tak bisa mengikuti kuliah.
Aku
pulang duluan meninggalkan Diffani di kampus sendirian.
Malamnya
ternyata Diffani menghampiri ke rumah. Dia ingin menemaniku. Tapi aku tak butuh teman. Aku butuh
ketenangan. Tapi apa boleh buat Diffani sahabatku, aku terima niat baiknya.
Aku
berusaha tutup mulut, aku berusaha menyimpan ini semua untuk sementara waktu.
Esok
kuliah free, Diffani tak terduga telah menyusun rencana. Dia membawaku ke
sebuah bukit yang perpermandangan membuat mata sejuk, pikiran fres kembali.
Tapi kenapa aku masih saja berharap jika disampingku Reza. Selalu Reza padahal
dia sudah pergi dan mungkin tak kan pernah kembali. Atau mungkin tubuh nya saja
yang pergi tapi jiwa masih tetap disini bersamaku. Plis Tuhan bantu aku untuk
melupakan nya! L
Aku
berteriak sekencang-kencangnya. GOOD BYE REZA, GUA AKAN NGELUPAIN LOE, GUA AKAN
NINGGALIN LOE, GUA AKAN NGEBUANG SEMUA APAPUN YANG BERHUBUNGAN DENGAN LOE,
KARNA GUA MASIH MAU HIDUP, KARNA GUA MASIH PUNYA BANYAK KEHIDUPAN UNTUK ESOK,
BYE REZA, SEMOGA LOE BAHAGIA DENGAN KEBAHAGIAN LOE SEKARANG, SEMOGA DILUAR SANA
ADA SESEORANG YANG LEBIH BISA NGERTIIN LOE APAPUN ITU LOE NANTI. SEKALI LAGI
MAKASIH LOE SUDAH MASUK KE KEHIDUPAN GUA, DAN MAKASIH LOE UDAH BERHASIL
NGANCURIN SETENGAH HATI GUA. NGERTI LOE ZA, BYE!!!
Tak disangka ku mendengar seseorang memutar lagu yg
ber-reff “sayang terima kasih tuk semua
selama ini kau telah menyakitiku, ku terima semua keputusan mu di dalam
hidupku.”
Lagu itu tiba – tiba meingatkan ku akan adanya sosok
Reza. Reza yang pengecut, Reza yang suka nya menyakiti hati, Reza yang suka
datang dan pergi sesuka hati nya tanpa peduli apa persaan orang yg
ditinggalkan.
Sedikit
lega aku bisa mengatakan itu. Walaupun cuma sebentar tapi lega untuk ku untuk
membuang dan melampiaskan semua yang inging aku katakan.
Saat
aku dan Diffani duduk menikmati view perbukitan ini, seorang cowok mengahampiri
kita. Dia sok kenal pula apalagi sama Diffani. Eh tapi ternyata itu memang
teman Diffani dan aku dikenalin deh sama cowok itu. Alfaro namanya. Lebih lengkapnya Efhan Alfaro Nando Pratama. Anak
kuliahan juga sih tapi lagi proses skripsi dan dia kerja juga. Keren sih tapi…
ah gak ah apa sih yang aku pikirin pokok nya untuk saat ini gak ada kata buat
cowok, karnamasih terlalu sakit untuk diingat tentang cowok.
Alfaro cowok baik ramah
pula. Sebaik apapun dia gak akan ngerubah apapun pandanganku tentang cowok.
Nando mengajak ku berkenalan melalui Diffani, dia meminta contact hp aku taoi
aku tak memberinya. Tapi ternyata dia gak habis akal, dia meminta nya dari
Diffa. Awalnya dia tak berani tapi pikirnya dia demi teman sendiri lah.
Kita
berpisah. Aku masih ingin sendiri, aku tak ingin di ganggu oleh siapun dulu
untuk sementara ini termasuk Diffa.
Masih
terlalu sakit untuk di ingat. Masih terlalu hampa untuk di kenang. Kenangan
manis berubah menjadi hambar untuk seketika. Kenangan bersamanya meskipun hanya
sedetik sekejap mata berarti, berarti untuk tersakiti.
Tiba-tiba
ku menyanyikan lagu ini tanpa sadar. “Setiap
waktu ku memikirkanmu, ku kakatan
pada bayangmu berapa lama lagi menunggu jatutah cinta. Rindu ini terus
mengganggu, ku tak sabar ingin bertemu, berapa lama lagi menantikan kata cinta.
Andaikan dia tahu apa yang ku rasa. Resah tak menentu mendamba cintamu,
andaikan dia rasa hati yang mencinta. Ku yakini kau belahan jiwa. Ku harap dia
mau membalas cintaku.”
Tak
sadar rintikan air mata jatuh satu per satu. Satu per satu air mata ini
mewakili beberapa kepedihan yang ku rasa. Ku menangis hingga malam. Sadarkah
kau, aku lah hati yang telah kau sakiti, hati yamg telah kau dustai.
“Kapan
aku bisa melupakan nya? kapan aku bisa jauh darinya ya Tuhan. Ku mohon jauhkan
ku darinya, aku tak ingin mengenangnya, aku tak ingin mengingatnya.”
Tapi
kata diffa semakin aku benci dia, semakin aku ingin melupakan dia semakin jug
aku gak akan bisa move on dari nya. Iya juga sih, ada benar nya juga perkataan
si Diffa. Tapiii…. Huuuaaa aku ingin nangis sekuat-kuatnya
sekencang-kencangnya.
Sejujurnya
aku masih mengharapkanmu, asal kamu tahu. Bagiku meskipun kau telah menyakiti setengah hatiku
tapi asal kamu tau juga aku masih belum bisa melupakan mu dan masih belum bisa
meninggalkanmu.
Tapi
kamu jahat Reza, Reza aku mungkin esok bisa mengharapkan mu kembali tapi
sekarang itu hal yang tak mungkin ada.
Apa
masih pantas
dia ku sebut malaikat setelah apa yang dia lakukan padaku
?? malaikat tanpa sayap rapuh, lenyap sayap sebelah.
Malaikat tanpa sayap yang hancur oleh perasaan karena
perasaan nya sendiri yang membuat hancur. Seseorang menunggu nya tapi sedikit
pun dia tak menghiraukan, tak peduli sedikit pun akan hal itu. Karna dia aku
tak percaya lagi akan adanya malaikat. Bagiku sama saja.
Tiba – tiba ku teringat seseorang, dia seketika lewat
terlintas dipikiranku. Alfaro ? apakah dia ? baik, nyenengin, tapi...
6
Panjang umur ni anak satu baru aja diomongin langsung
dah. Alfaro telpon, aku ragu buat jawab. “angkat gak ya amgkat gak ya” dan
akhir nya ku memilih untuk mengangkatnya meskipun aku masih rada ragu – ragu
untuk nya. Hampir sejam aku ngobrol dengan nya dan dalam sejam itu pula aku
mendengar curahan isi hati nya yang aku herankan aku dengan dia belum cukup
lama kenal tapi enatah mengapa dia terbuka sekali denganku seperti aku sudah
bisa dipercayai oleh nya sepenuh nya.
Terkadang aku merasa tak enak dia begitu baik padaku tapi
aku masih saja terlalu cuek untuk nya. Tapi mau bagaimana kagi sudah begitu jalan
nya.
Detik pun berubah menjadi menit, menit pun berubah
menjadi jam, begitu pula dengan jam berubah menjadi hari. Sudah hampr tak
terhitung berapa waktu aku dengan Nando, tapi belum sebagai status tapi masih
sekedar yang lain karna aku masih hancur.
Dan Diffa menyambung telpon setelah dia. Menanyakan soal
adanya Alfaro dan aku tak mau menjawab karena ku belum pasti akan hal itu.
Hanya diam. Tapi setelah ku pikir - pikir lagi dia anak nya baik, gak aneh,
simple apa adanya y meskipun...
Sebelum Diffa menceloteh terlalalu lama lagi, aku say
goodbye untuk nya.
“Dif, udah
dulu ya gua ngantuk mau tidur, bye. See you in Campus.”
“yah yah dy
kok udah mau d tutup aja sih. Hallo hallo hallo dy.”
Tuuutt ttuuuuuttt tttuuutt. Tak ada suara lagi.
Pagi. Pagi. Kampus, kampus. Hari ini aku sendirian tanpa
Diffa.tak apa tanpa nya buka hal yang tak biasa aku tanpa Diffa.
Si Mrs kepo datang. Dia sudah tak sabar untuk mendengar
beberapa ucapan kata tentang si cowok itu siapa lagi dan lain tidak bukan, si
Nando.
Ku menceritakan secara runtut tapi ya tak semua nya ada
yg ku sembunyi kan dari Diffa.
Kuliah usai tak disangka Alfaro
sudah menunngu ku disela – sela jalan. Dia menunngu dengan setia. Seorang
lelaki yang amat sangat peduli dan setia menunggu.
Ku dipersilahkan masuk ke dalam
mobil nya dan diperjalanan kita mengobrol tiada henti dan ternyata ku baru
tersadar ternyata ku melupakan sesuatu, Diffani. Ku menelpon Diffa dan meminta
maaf kalau aku tak bisa bersama nya untuk saat ini karena ku tahu dia pasti
sudah menunggu ku di sudut itu. Kasian dia.
Tak langsung pulang ternyata, dia
mengajak ku ke sebuah tempat yang indah, penuh dengan hijau ketika mata
memandang. Dan tanpa ku sadari pula dia menyatakan sesuatu yg ada di dalam
hatinya dengan suasana seperti ini. Aku langsung terkejut tak menyangka akan
apa yang ku dengar ini. “Apa ini benar ? apa ini nyata ? ya Tuhan apa aku
bermimpi ?” ku bertanya – dalam hati.
Aku akan menerima nya sebagai pegisi
separuh hatiku tetapi dengan syarat, tak boleh meyakiti perasaan sampai
menangis pula. Dan akhir nya aku meng-iyakan dengan cara mengangguk dan
tersenyum untuknya. Aku akan mecoba mencintainya dan berusaha menjadi yg
terbaik untuk nya. Dan untuk Alfaro terima kasih kau telah mempercayai ku untuk
mengisi setengah ruang hati mu dan dengan seketika dia pun mengatakan “mungkin kamu sering mendengar bahwa cinta
itu buta, tapi bagiku tidak. Cinta tidak buta dia hanya memahami, memahami akan
satu sama lain, memahami akan kita. Kita sama – sama berusaha untuk mengerti
dan terima kasih kau sudah menerima ku, aku akan berusaha yang terbaik untuk mu
nanti, aku tak bisa janji aku hanya bisa berusaha.”
Dengan seketika ku menitihkan air
mata di hadapan nya. Dia begitu sempurna untuk ku, dia terlalu baik dan
sempurna untuk ku. Semoga aku tak
mengecewakan seorang lelaki seperti ini yang sudah tulus mau mengerti aku.
Terima kasih Tuhan kau telah hadirkan dia dalam hidup ku.
Perjalanan menuju rumah masih dengan
perasaan tak percaya yang terjadi hari ini. Air mata, hanya itu yang ada
sekarang.
Di depan gerbang rumah kita sempat
mengobrol sedikit dan ku ucapkan “terima
kasih untuk hari ini, hari ini begitu indah untukku dan aku akan berusaha
menjadi yang terbaik untukmu, seperti katamu tadi tak janji tapi berusaha, itu
adalah kata – kata yang paling indah yang pernah ku dengar sekali lagi makasih
ya untuk semua nya, selamat malam.”
Malam ini akan menjadi malam yang
indah, semoga. Aku akan melupakan semua nya dan menjalani yang baru. Mimpi
indah dalam tidur ku. Selamat malam semua nya.
Pagi hari nya ku lihat layar
handphone ku ternyata 1 message from Nando, he says “Selamat pagi kesayangan,
selamat beraktifitas untuk hari ini.” J
1 kalimat itu saja bisa membuat ku
semangat untuk hari ini, terima kasih ya. J
Alfaro adalah seseorang yang
memiliki sejuta kejutan.
“untuk
matahariku yang disana, jagalah senyum mu untuk pagi ini karena tanpa
senyumman, matahari tak dapat bersinar.”
“terima
kasih bintangku, semoga kau tetap menjadi bintang dihatiku, aku akan menjaga
senyum ini terutama untuk mu, bintangku.”
Tak terasa sudah hampir 6 bulan ku
menjalani setengah hidupku, setengah hatiku dengan nya. Semakin lama semakin ku
marasa nyaman dengan nya. Begitu sabar dia menghadapi ku. Tak pernah sedikit
pun marah ataupun melakukan sesuatu yang membuat ku ingin mengakhiri semua.
Tidak ada.
Alfaro, hanya itu yang ada di benak
pikiran ku. Cowok yang begitu penyayang dan sabar ini telah menjadi pilihan ku.
Semoga ku tak salah selama 6 bulan ini. Ini yang ku rasakan sekarang senang dan
nyaman ketika bersamanya, semoga selalu.
Tiba – tiba nama Reza terlintas
sejenak di pikiranku. Sebuah nama yang tak mau ku ungkit kembali.
Itu pun hanya sedikit
Ku pejamkan mata
Ku lihat sesosok indah
Indah dalam hal yang menurut indah
Ku
hanya bisa termenung
Bisa saja
itu yang terbaik
Tapi....
Hanya itu
yang kamu tau
Apa yang
sebenarnya terjadi
Apa yang
kamu tau
Aku, aku,
aku
Bingung...
Kamu...
Plis beritau
Kamu...
Pasti tau
Akan ku
jaga pandangan itu
Bila kau
menjauh, bahagia
Bila kau
mendekat, sedih
Aku ingin
seperti itu
Pandangan
itu seperti...
Pandangan
itu menuju...
Ku harap
menjauh
Agar ku
bisa.
Pandanganku
untukmu, hitam
Perlakuan
dihadapanku, tak perasaan
Hati sakit
Apa kamu
tau, peduli ??
Kau tak tau
dan tak mau tau kan
Sejak kapan
kau seperti itu
Tak punya
perasaan
Tak punya
hati, walau secuil
Musnah
hidupmu, hadapanku
Bahagialah
sendiri diluar sana
Cukup sakit
mengingatmu
Cukup sakit
melihatmu...
Sudahlah tak perlu di ingat lagi
orang seperti dia. Aku ingin melupakan dia ya Tuhan. Tapi aku tak
habis pikir kenapa pikiran ku masih saja tertuju olehnya, masih saja
mengingatnya, padahal ku sekarang sudah memiliki seorang pangeran yang sangat
luar biasa mengerti aku dan memamahami akan keadaanku.
Aku sangat
menyayangi pangeran ku saat ini dia begitu baik dan tulus kepadaku. Kemanapun
aku dia selalu ingin menemaniku, itu adalah sebuah bentuk rasa kasih nya untuk
ku.
Terkadang
aku sangat bersalah untuk nya, karena ku bersama nya tapi pikiran ku tak
bersamanya.
7
1 year me with him, my love
(Alfaro). Masih bahagia? Tentu saja.
Setelah sekian lama dia kembali. Reza. Tanpa mengulang
perasaan itu. Dia kembali hanya sekedar menampakkan diri dan mengajak ku untuk
mengatakan sesuatu dan ternyata dia telah mengatakan nya.
“Kamu kemana aja za selama ini, disaat semua
sudah berubah dan berbeda kau baru muncul, dimana perasaan mu. Kamu gak ngerti
kan akan perasaan ku. Aku menunggu mu sekian lama sampai kau bisa hadir meski
itu hanya anganku saja. Maaf untuk saat ini aku tak bisa karena sekarang aku
telah memiliki seseorang yang bisa sedikit mengerti aku, lebih sedikit
menghargai aku. Aku akan mempertahan kan itu meski bagiku itu sulit untuk ku.
Dia
menjelaskan kepada ku kenapa dia menghilang selama ini, dia ternyata ke luar
negeri bersama dengan keluarganya untuk berobat dan juga berfikir tapi semua nya telah terlambat.
“Ya tapi dy, aku selama ini pergi karena
aku butuh berpikir mana yang pantas untuk ku, dan itu ternyata kamu, dan maaf
aku hadir dengan cara seperti ini.”
“Berpikir katamu ? berpikir tanpa memperdulikan perasaan ku, sungguh egois
fikiran mu itu. Meskipun kau adalah malaikat bersayap pertama kali
dihatiku tapi maaf aku belum bisa untuk
itu karena sekarang aku memiliki malaikat lain di kehidupan ku, yang pasti yang
aku punya sekarang malaikat bersayap yang tak rapuh.”
Tak
sengaja mataku berlinang di hadapan Reza, air mata ini susah sekali untuk di
hentikan
“Ya sudah maaf aku sudah seperti ini
kepadamu dan maaf aku sudah membuat mu seperti ini dan semoga juga kau bisa
berbahagia dengan malaikat pengganti ku sekarang, tapi aku masih berharap
semoga aku masih bisa menjadi satu – satunya malaikat dihatimu.”
Ku meninggalkannya sendirian
disaat dia menyelesaikan kalimat itu.
“Ya Tuhan mengapa dia kembali lagi ya Tuhan, aku
ingin selalu melupakanmya. Tapi mengapa ? L Tuhan ku mohon hilangkan pikiran ku untuk nya.”
Rintihan
air mata ini untuk nya. Begitu banyak. Rugi ku rintihkan seperti ini. “Tuhan
mengapa kau dulu mengirimku malaikat seperti dia, malaikat yang akhirnya
menyakitiku?”
Reza,
kau adalah rasa sakit terindah yang pernah hadir di kehidupanku. Sedikit rasa
sakit bisa menghapus sejuta keindahanmu. Tak peduli kau apa kemarin, sekarang
tak mau bertemu. Tak peduli seperti apa baikmu sekarang., kepedulianmu sekarang
yang jelas telah hitam dimataku.
Alfaro mengirim pesan.
“aku tau mungkin kau dalam kegelisahan, tapi satu
hal yang harus kau tau, aku akan selalu ada untuk mendukung keputusan mu meski
berat. Seberat apapun itu jika kita menampungnya bersama, kita akan bisa
melewatinya. Hal berat mudah kita lalui, tetaplah tersenyum matahari ku, karena
ingat setiap senyuman dapat membuat apapun yang kita pikirkan akan lebih
ringan.”
Dalam
hatiku bagaimana Alfaro tau kalau aku lagi gelisah memikirkan sesuatu. Apa ini
yang dikatakan dan dinamakan ikatan batin?
“Terimakasih bintangku, aku akan selalu bisa
melewati ini semua karena disisiku selalu ada kamu, aku akan rapuh jika tak ada
support darimu. Aku bisa melewati ini semua itu karena mu. Semoga kau bisa
selalu mendampingiku untuk melewati semua masalah yang kuhadapi karena kau
selalu bisa untuk membuat ku seperti lebih sempurna.”
Akan
ku selalu mengingat kata – kata sang malaikat ku “Jangan lupa tersenyum hari
ini”. Sebuah kata terindah darinyanya tak pernah terfikir jika dia bisa setuus
itu. Itu adalah kalimat sederhana dan mudah sekali untuk diucapkan tapi
sangatlah berarti.
Tapi
seiring berjalannya waktu dia pasti tau. Tinggal aku memilih terlambat atau
sekarang. Pilihan itu menyebalkan membuatku kehilangan untuk berpikir. Sekarang
? dan aku memilih sekarang.
Aku
mengajak dia ke sebuah tempat untuk berbicara mengenai ini semua. Setelah ku
menceritakan semua dia hanya tersenyum dan berlinang dihadapanku. Itu yang
membuatku tak kuat untuk menantap matanya.
“mungkin aku bukan yang pertama dihatimu, tapi
aku selama ini berusaha untuk menjadi tetap yang pertama dihidupmu, semoga itu
tidak tak sia – sia untuk ku. Aku yakin waktu akan menjawab semua tentang kita
karena waktu tak pernah berbohong.”
“maaf, iya kau bukan yang pertama dihatiku tapi
aku berusaha. Seperti yang kau katakan pertama kali dulu “berusaha” itu yang
kuterapkan hingga sekarang. Dan aku memilih tetap bersamamu apapun yang
terjadi.”
“aku tak mau untukku sebuah keterpaksaan. Tulus
itu yang aku butuhkan, karena tapa ketulusan semua akan percuma tak ada guna.”
Seketika ku menitihkan air
mata dihadapannya dan Alfaro memelukku bermaksud untuk menenangkan ku dari ini.
“iya sayang, aku sudah memutuskan
untuk tetap bersamamu, aku sayang kamu tanpa keterpaksaan tapi dengan ketulisan
hati.”
“(senyum) terimakasih kau masih
mempercayai ku sebagai malaikat di hatimu dan aku akan berusaha agar bisa
selalu menjadi malaikat bersayap di hatimu sampai waktu yang berbicara akan
perpisahan.”
“iya, aku selalu sayang kamu apapun yang terjadi
padamu hari ini, esok nanti dan selamanya aku tetap bersamamu.”
Aku berusaha agar ku bisa
kuat, tak mau terlihat lemah di hadapannya, karena dia tak bisa sedikitpun
melihatku dalam keadaan lemah pasti dia langsung melakukan sesuatu untukku.
Tuhan tolong jaga malaikat
ku di sana karena aku tak mau dia jatuh. Dia terlalu baik untuk ku. Aku tak mau
mengecewakan dia. Sedikit pun tidak. Air mata ini akan jatuh jika dia
tersakiti.
Lelaki sebaik dia tak pantas
untuk disakiti, tak pantas untuk dikhianati.
8
Setelah beberapa bulan
seketika itu Reza benar – benar pergi dikehidupanku. Satu rasa kehilangan tapi
tak peduli akan kehilangan nya. Reza pergi dengan beberapa seucap kalimat. “aku
akan pergi sejenak dari kehidupan mu, entah sampai kapan aku bisa tenang dan
menerima ini semua. Selamat tinggal semoga kau bahagia. Semoga aku bisa
melupakan mu meskipun itu sulit untuk ku. Aku akan selalu menunggu mu sampai
kau bisa menerima ku kembali meski hal itu percuma dan mustahil. Selamat
tinggal Nindy, semoga kau selalu mengingatku.”
Hati ku seketika tertutup
oleh seorang bernama Reza Ahmat Saputra. Air mata, air mata, air mata lagi
untuk nya. Sia – sia ku bung untuknya. “Tuhan tolong jauhkan dia dari hidupku
karena ku tak mau ada yang terluka dan tersakiti oleh ini semua. Tak tega ku
jika melihatnya terluka terutama hatinya ya Tuhan.”
Aku butuh ketenangan. Aku
butuh tempat sepi agar aku bisa berpikir dan tenang.
“Ketika semuanya nyata tapi
ternyata abstrak, hanya keragu-raguan yang muncul. Seperti seorang yang
tersingkirkan dari dunia, seperti seorang yang tak dipedulikan.”
“Aku disini hanya duduk
terdiam sendiri tanpa seorang pun. Merenung suatu hal yang tertuju pada esok.
Sebuah pilihan. Tanpa ku beri senyuman disini, hanya kesedihan dan kebingungan
yang ada karna rasa yang ku berikan kepadanya selama ini hanya semu belaka tak
ada peduli. Peduli ? hanya terakhir dan terlambat. Percuma hanya itu saja yang
ku ingat dari mu.”
“waktu terasa begitu cepat
dan tak terasa aku jatuh di dalam waktu itu. Waktu yang tak dapat dikenali
dengan baik hingga tak sadar ku lenyap dalam waktu itu juga. Kau membuat ku
menunggu dan berkorban, dulu. Kau membuatku tak memikirkan apapun itu, dulu.
Begitu berartikah dirimu sampai ku seperti itu dulu terhadapmu?”
Dua jam lebih ku berada
disini termenung dan aku masih bertanya – tanya disini. “mengapa hati ini
selalu saja masih meyimpang tentang mu? Setiap detik disini, dulu. Tempat ini
terekam jelas dan indah di pojok hati kecilku. Tapi itu hanyalah omonganmu,
kamu adalah seorang pemain hati yang memiliki sejuta topeng untuk menutupi
semua tipu dayamu dan muslihatmu yang orang lain tak tau akan hal itu. Kau
datang dan pergi sesuka hatimu tanpa memperdulikan seorang yang ada yaitu aku.
Selama
di taman ini ternyata Alfaro mencari ku melalui sebuah pesan singkat.
“sayang kamu dimana? Aku susah sekali untuk
menghubungimu. Semoga kau baik – baik saja ya, jika perlu apa – apa tolong
hubungin aku jangan menyendiri.”
“maaf sayang aku tak menghubungimu sepanjang ini.
Aku butuh sendiri dan ketenangan sejenak.”
“maaf juga
aku telah mengganggu ketenanganmu saat ini. Apakah sekarang kamu sudah merasa
tenang. Aku jemput ya, kamu di tempat biasa kan.”
“iya, iya sayang jemput aku sekarang ya. Aku juga
butuh kamu di sini.”
Tiga
puluh menit yang Alfaro butuhkan untuk menghampiri ku di tempat ini. Dengan
adanya dia disini dapat membuat ku tersenyum dan tenang. Ku menikmati suasana
yang ada dengan seseorang yang aku
sayangi, suasana tenang dan hangat. Perjalanan menuju my sweet home, aku dibuat
nyaman olehnya. Ini yang membuatku mempertahankan ini semua dengannya sampai
saat ini. Dan semoga selamanya selalu seperti ini.
Malam
harinya, aku diberi kejutan lagi dengan kata – kata indah yang terurai dari
ucapanya. “hai matahariku disana, malam ini udah senyumkan. Aku ingin selalu
melihatmu senyum setiap waktu dan setiap saat. Senyummu membuatku bahagia.
Senyummu dapat menghapus luka – lukamu dulu. Aku bahagia jika kamu bahagia. Aku
rela sedih dan melakukan apa saja jika itu bisa membuatmu bahagia dan
tersenyum.”
Aku
tidur dengan bayang – bayang untaian kata dari sang malaikatku, Alfaro. Sebelum
tidur ku tersenyum, dalam hati bermaksut senyum ini untuknya.”Tuhan kirimkan
senyum ini untuknya, tolong katakan padanya bahwa aku selalu menyayanginya apapun
keadaannya.”
“Untuk
Alfaro, sang malaikatku semoga Tuhan selalu menjagamu dengan kekuatan-Nya. Aku
selalu mendoakanmu dari sini, meskipun kita jauh semoga doa ku sampai dalam
mimpi indahmu karena kekuatan doa lebih sempurna daripada segalanya. “
Aku
ingin ke sebuah tempat yang tenang dan bisa membuatku lupa aka kejadian
sebelumnya. Tapi aku tak ingin ditrmani, aku ingin sendiri termasuk Alfaro dan
Diffani.
Tapi
aku tak bakalan bisa akan melakukan itu. Aku tak bisa tanpa mereka. Terutama
dengan sang malaikat penjaga hatiku. Tapi aku butuh hiburan untuk pengusir rasa
suntuk dan kesal ini. Aku menelpon Alfaro untuk menjemputku dan ku ingin dia
mengajakku kesebuah tempat yang indah tanpa ada pikiran lainnya di dalamnya.
Tiba di sebuah tempat. Dia mengajakku ke sebuah tempat yang sunyi dan tenang.
Ternyata dia tau apa yang ku mau saat ini. Ini yang kumau. Aku duduk
disampingnya dan bersandar di pundaknya dan tanpa ku sadari, air mataku
berjatuhan sedikit demi sedikit dengan secuil rasa sakit yang masih ada di
hati. Aku berada di sini dengannya merasakan hal yang sangat tenang. Alfaro pun
tak segan untuk mengatakannya.
“tak apa keluarkan, tak usah ragu. Aku selalu ada
di sini untukmu. Aku takkan pernah meninggalkanmu sedikitpun karena aku
berusaha untuk selalu ada untukmu dan selalu berusaha untuk menjadi yang
terbaik untukmu.”
Air
mata ini tak kunjung berhenti untuk menetes. Malu rasa nya harus mengeluarkan
air mata sebanyak ini bila sedang bersamanya. Tatapan ketulusan itu yang
membuat ku tak ragu – ragu lagi.
“coba kau lihat satu bintang disana, dia tak kan
menjadi apa – apa dan bukan apa – apa tanpa bintang di sekelilingnya, apa kamu
tau apa yang aku maksut?”
“tidak, emang apa yang kamu maksutkan itu?”
“satu bintang akan hancur dan hilang tanpa yang
lain. Bintang itu seperti kehidupan satu orang takkan bisa memecahkan masalah
kita memerlukan orang lain untuk menolong kita. lebih detailnya lagi kita,
ibaratnya satu bintang itu kamu, bintang yang lain itu aku. Kamu akan
membutuhkan ku, sebaliknya pun begitu aku juga memerlukanmu dikehidupanku.”
Kurang
lebih dua jam kita merasakan dinginnya tempat ini. Tapi rasa dingin tak
terhiraukan jika dia di sini selalu bersamaku.
Pulang,
pulang dan pulang. Dia mengantarku sampai ke depan gerbang rumah. Sebelum dia
pergi, dia mengatakan sesuatu untukku “kamu akan selalu menjadi bintang di
hatiku. Kamu tak usah khawatir akan keadaanku. Aku akan selalu ada di sini,
jika aku jauh darimu selalu ingatlah bahwa aku selalu ada di sini, di hatimu.”
Sebuah kalimat indah yang bisa membuatku tenang untuk malam ini. “selamat malam
malaikat bersayapku, semoga kau akan selalu tetap seperti itu menjadi satu –
satunya malaikat di hatiku.”
Pagi
harinya di kampus, kuliah ku jalani dengan senyum bahagia karena teringat oleh
perkataan Alfaro, “hadapi semua dengan senyum, karena setiap senyummu akan
membuat semangat setiap apa yang kau lakukan hari ini ataupun esok hari.”
Seusai
kuliah, Alfaro sudah menungguku di depan gerbang kampus. Dia selalu menjemputku
karena dia tak ingin melihatku sedih dan kesepian dan kebetulan dia sekarang
kuliahnya hanya tinggal skripsi saja, jadi banyak luang waktu untukku. Dia
mengajakku ke sebuah tempat indah pemandangan, kali ini bukan perkebunan
ataupun air terjun melainkan perbukitan yang tentram dan sunyi.
“kau boleh mengeluarkan apapun yang ada di hatimu
sekarang di sini, lakukanlah jangan ragu, aku akan siap mendengarkan apapun
yang ingin kau katakan.”
Aku
hanya nangis di pundaknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuknya. Aku
masih belum bisa tenang ternyata. Aku sempat ada pikiran untuk mengakhiri ini
semua dengannya karena dia terlalu sabar dan baik menghadapiku, tak tega ku
selalu melihatnya seperti ini, tapi aku selalu ingat kata Alfaro “kita lewati
bersama”.
“bukit ini akan terasa indah jika kau tersenyum
dan tak selalu merasa sendiri dan sedih. Jika kau merasakan sedih, selalu
ingatlah bukit ini. Bayangkanlah jika di sini selalu ada aku ataupun Diffani
yang siap untuk menemanimu kapanpun yang kau mau, karena kita akan selalu ada untukmu.”
“terima kasih sayang atas semuanya, ku akan
selalu ingat perkataan dan pesan – pesanmu itu.”
Hari
beranjak malam, langit terututup oleh hitamnya warna ditaburi oleh sejuta
bintang indah penuh senyuman. Hari tak terasa berjalan jika dia di sini, waktu
seperti berhenti sejenak dan seperti memiliki sejuta perhatian untukku. Aku
berterima kasih pada waktu yang telah mempertemukanku dengannya.
Sebelum
tidur tak lupa ku berdoa untuknya setelah ku mendoakan kedua orangtuaku dan
saudara – saudaraku.
“Tuhan
tolong jaga kami, semoga kami selalu bersama tak ada halangan, aku ingin selalu
bersamanya sampai nanti. Tuhan tolong aku sayang dia, aku rindu dia, aku cinta
dia. Tolong Tuhan jaga dia untukku.”
Hampir
setiap malam ku berdoa untuknya, berharap
dia pun juga begitu. Tapi ku yakin dia pun juga begitu.
Aku
terlalu sayang dia, aku tak ingin dia pergi dari kehidupanku, meskipun dia
sudah pernah mengatakan takkan pernah pergi dariku, aku masih terlalu takut
jika berpisah dengannya. Lagi lagi waktu akan menjawab bagaimana kita nanti.
Waktu selalu mengatur segalanya. Kenapa harus waktu yang mengatur segalanya?
Kita, apakah bisa? Tapi yakinlah, kita dan waktu bisa berjalan bersama dan
seiringan.
9
“sebuah
syair dan melodi akan meyejukkan hati setiap orang, tapi kamu hanya dapat
meyejukkan hidupku. Sebuah syair dan melodi akan membuat setiap orang ataupun
setiap insan bahagia, tapi kamulah sumber bahagiaku. Berbahagialah dengan
senyuman. Senyumlah untuk pagi ini. Senyum dapat membuatmu tak merasa mendapat
beban, bebanmu akan terasa ringan jika kau pikul dengan senyuman meskipun itu
hanya sedikit saja. Jadi, berikanlah senyummu untuk pagi ini.” J
Sebuah
kalimat yang dapat menenangkan hati untuk pagi ini.
Pagi
ini aku minta Diffani untuk menjemputku. Aku lagi ingin bersama sahabat
terbaikku yang satu ini. Dia sahabat terbaikku yang selalu memberi ku sebuah
kata – kata penyemangat dan nasihat – nasihat terbaik untukku.
“hay say gimana loe sama
Alfaro?”
“gimana apanya?”
“ya sekarang loe gimana sama
dia, baik - baik aja kan?”
“ya baik – baik lah. Dia super duper baik. Dia
adalah laki – laki paling sempurna yang gua pernah temui setelah bokap gua.”
“wow amazing sampek segitunya ya loe sayang sama
dia, baguslah kalo gitu. Loe udah bisa bahagia sekarang.”
Tiba
– tiba handphone ku berbunyi yang mempunyai satu sms yang belum terbaca. Nomer
baru siapa ya.
“hai
apa kabar? semoga baik dan sempurna pagi ini. Aku harap kau bisa begitu.
Bahagiakah kau sekarang? Ku harap juga begitu. Secuil kebahagiaanmu adalah
secuil rasa rinduku juga untukmu. Aku tau kau pasti sangatlah bahagia sekarang
dengan kebahagianmu sekarang, dan selamat kau telah berbahagia dan maaf menyita
waktumu sebentar untuk membaca pesan ini, sekali lagi terima kasih atas
kesempatan berharga ini.”
“sms dari siapa dy?”
“ntah ni dari siapa, tapi pesan ini memiliki
kalimat yang begitu mengherankan untukku.”
“jangan – jangan dari.....”
“siapa?”
“si Reza siapa lagi”
“ah masa sih, dia kan udah lama menghilang,
ngapain dia muncul lagi.”
Aku akan membalas pesan
singkat ini.
“dengan siapa, apakah anda
tidak salah mengirim pesan?”
“kau tak perlu tau siapa
aku, yang perlu kau tau aku adalah seseorang yang pernah ada tapi hanya sekedar
sekilas saja, tak lama.”
Diffani semakin yakin jika
pesan itu dari Reza. Tapi jika itu benar, kenapa dia hadir lagi untuk kedua
kalinya. Pergi tanpa pamit untuk yang kedua kalinya, dan sekarang datang dengan
seenaknnya dengan cara seperti ini. Sungguh keterlaluan hatinya.
Kali ini hatiku takkan
meresponnya. Biarkan saja dia seperti itu, seperti yang dia mau. Aku sudah tak
mau memperdulikannya lagi, sudah terlalu sakit hati ini untuknya. Dua kali kau
pergi semaumu, dua kali pula ku merasa
sakit.
Dalam hati kecilku bertanya
pula, dimanakah dia sekarang?
Apakah aku masih pantas
untuk bertanya seperti itu sedangkan dia telah tak memperdulikanku hingga dua
kali adanya. Masih pantaskah dia hadir kembali meskipun tak diinginkan
kehadirannya. Hanya Alfaro yang ada saat ini. Aku akan mempertahankan semua
dengan Alfaro apapun yang terjadi. Jika tiba – tiba ku ingat Reza, seakan
Alfaro terabaikan tapi maksudku bukan begitu. Aku ingin berusaha melupakannya.
Kasian Alfaro seperti hanya pelampiasan saja, tapi maksudku juga bukan seperti
itu. Aku juga ingin melepas dan membuang semua tentang Reza tapi masih susah
untuk saat ini. Masih ada segelintir memori Reza di ingatanku yang tak patut
untuk diingat kembali.
Sesampai di kampus, dan
ketika aku dan Diffani menuju kelas. Teman Reza menghampiriku dan memberi ku
sesuatu dari Reza. Ketika ku bertanya “dimana keberadaan Reza” dia tak mau
menjawab akan pertanyaanku.
Sebuah surat dan boneka
beruang kecil. “maaf aku melakukan hal pengecut seperti ini, mungkin kau kira
aku tak berani untuk menemuimu dan kau berpikir aku pengecut pula. Bukan begitu.
Aku tak ingin menemui karena sesuatu hal di luar itu. Suatu saat kau pasti tau
hal itu. Aku selama ini pergi jauh darimu untuk yang kedua kalinya dan tak
memberimu kabar ada sebabnya. Aku selama ini tinggal di Singapore dan aku di
sana untuk berobat karena ternyata aku belum sembuh dari penyakit ini. Sekarang
aku ada di Indonesia tapi aku tak bisa berlama di sini karna aku harus segera
kembali, ini mungkin yang terakhir kalinya. Jika kita takkan pernah bertemu
kembali, kata maaf hanya itu yang bisa aku katakan untukmu dan terima kasih kau
mau mengenalku selama ini meski aku pernah melukai secuil hatimu itu, yang luka
itu mungkin takkan pernah kau lupakan selama hidupmu dan maaf aku baru bisa
cerita sekarang itu pun tak langsung hanya melewati surat kecil ini.”
Ku membaca surat ini denagn
bercucuran air mata. Disisi lain ku benci dia, disisi lain pula ku ingin
bertemu dia. “Tuhan tolong pertemukanku dengan Reza meski itu untuk yang
terakhir kalinya.aku janji ya Tuhan aku berusaha kali ini tak ada kebencian
antara aku dengannya.”
Apa aku masih sanggup lanjut
kuliah pagi ini setelah kejadian yang ada pagii ini? Tapi aku harus demi
semuanya dan demi senyumanku mendatang yaitu Alfaro, aku harus kuat menghadapi
ini semua.
Selesai kuliah, ku minta
Alfaro untuk menjemputku. Setibanya Alfaro di kampusku, aku langsung masuk ke
dalam mobil Alfaro. Alfaro melihatku dengan tatapan yang tak biasa, mungkin dia
merasa ada yang berbeda denganku tapi dia tak berani untuk bertanya dulu.
Kembali Alfaro membawa ke tempat itu, ke bukit ini yang biasa ketika aku sedih
ataupun kurang semangat.
“tenangkanlah hatimu dulu, baru kau cerita jika
kau mau.”
Ku
hanya mengangis di tempat itu, pundak Alfaro menjadi sandaran ku. Setelah
beberapa menit ku sudah mulai bisa tenang, dan ingin sekali menceritakan ini
semua ke Alfaro.
“bagaimana apakah kamu sudah tenang, apakah ada
yang ingin kau ceritakan kepadaku?”
Ku
masih saja diam ketika ditanya seperti itu. Dalam hati ingin bicara dan cerita,
tapi mulut ini tetap saja masih mengunci erat.
“ya sudah kalau kau masih belum bisa cerita, tak
apa. Tenangkan dirimu dulu di sini. Aku akan selalu menemanimu di sini.”
“bukan begitu, sebenarnya pagi ini aku mendapat
surat dari seseorang. Ini suratnya. Bacalah.”
Setelah dia membacanya tak
ku sangka ekspresi muka Alfaro hanya seperti itu, hanya tersenyum.
“(senyum) terus mau kamu apa sekarang? Apa kamu
ingin mencarinya. Jika kamu ingin mecari nya sebelum dia kembali ke Singapore,
aku akan membantumu untuk mencarinya.”
Aku
begitu terkejut ketika Alfaro mengatakan kalimat seperti itu. Dalam hati pun
aku mengatakan. “ya Tuhan terbuat dari apa hatinya itu, begitu baik dan
penyabar dia, hal semacam ini pun dia tak marah padaku malah dia ingin
membantuku.”
“aku tak ingin kau kecewa nanti, aku hanya ingin
kau bahagia saja. Itu saja cukup untukku karena ku yakin kamu takkan
mengecewakanku.”
Setelah itu.
“apakah kamu tak marah ataupun jengkel dengan isi
surat itu?”
“untuk apa aku marah, aku percaya kamu. Kamu
takkan mungkin meyakitiku, karena aku telah mempercayaimu dan karena awalnya
kau yang mempercayaiku jadi apa salahnya jiak aku berbuat sebaliknya.”
Kembali
berlinanglah air mataku. “sayang, besok temani aku ya untuk mencari keberadaan
Reza, aku tak mau menyesal kelak, aku tak mau menyesal jika terjadi apa – apa
nanti.”
“iya sayang, aku akan menanimu nanti, sekarang
kita cari makan dulu ya, kamu belum makan kan dari tadi, aku tak mau kamu sakit
ataupun lemas karna kamu senangat hidupku.”
Malam
harinya sebelum ku pejamkan mata ini, Alfaro mengirimkan ku sebuah pesan.
”sudah jangan kamu pikirikan sebuah surat yang kamu tunjukkan kepadaku tadi.
Aku akan membantumu untuk mencari informasi dan mencari keberadaannya, aku rela
melakukan ini demi kita. Aku takkan ingin kau mengecewakanmu meski hatiku rasanya
sakit, tapi aku tak peduli yang penting kau bahagia untuk sekarang ini.
Istirahatlah. Selamat malam matahariku yang berubah menjadi bintang, sebuah
bintang dihatiku untuk malam ini. Semoga Tuhan selalu mejagamu dalam
lindungannya, meskipun aku percaya Tuhan akan selalu melindungimu dengan
lindungannya.
Tiga
bulan setelah surat itu, aku terus mencari. Belum saja menemuinya, sulit sekali
untuk mencarinya ketika dia dicari tapi ketika tak diinginkan kehadirannya, dia
muncul secara tiba – tiba tanpa permisi. Sekarang seperti manusia telah
tertelan oleh bumi. Sudah hampir menyerah ketika aku mencarinya kerana bagiku
sudah tak penting lagi untuk menemuinya tapi Alfaro mengatakan “temui saja dia,
meski kamu sudah tak ingin karena sakit”.
Dalam
hati ku mengatakan “mengapa Alfaro begitu antusias menyuruhku untuk menemui
Reza, meskipun itu membuatnya sakit. Apa karena ingin membuatku bahagia nanti,
tapi ku kini telah bahagia dengannya.”
Tiba
– tiba ku ingat dengan teman Reza yang memberikanku surat waktu. “kenapa aku
tidak bertanya saja kepadanya tentang keberadaan Reza, tapi apa dia mau
memberitahuku tentang Reza. Ah apasalahnya kalau aku mencobanya, semoga kali
ini bisa jika ini gagal aku sudah tak tau lagi lah harus berbuat apa untuknya.”
Ketika ku menuju kantin, kebetulan ku bertemu dengan teman Reza yang waktu itu
sempat memberiku sebuah surat.
“eh gua mau nanya dong, plis loe jawab ya.
Sebenernya si Reza sekarang dimana sih? Apa dia di sini atau di Singapore?”
“e e e emmm, gimana ya sebenernya gua gak boleh
ngasih tau siapa – siapa tentang keberadaan Reza, ke siapapun termasuk loe dy.”
“ayo lah plis kasih tau gua dimana dia sekarang.”
“aduh gimana ya dy gua bener – bener gak berani
ini soalnya gua udah janji ma dia. Hmmm gini aja gua akan kasih loe contact
sama alamat rumah dia yang baru, nanti loe tanya aja sama orang yang di rumah
itu.”
“hmmm ya udah deh, itu pun udah cukup buat gua.”
“ini contactnya ini alamatnya. Sorry gua cuma
bisa bantu ini aja semoga loe bisa ketemu sama dia sebelum semuanya terlambat.”
“thanks ya informasinya. Ha apaan maksud loe?
Sebelum semuanya terlambat?”
“nanti loe tau sendiri dy.”
Aku
masih bingung dengan perkataan teman Reza barusan. Apa yang dia maksud, apa
terjadi sesuatu dengan Reza?
Setelah
ku mendapat beberapa informasi tentang Reza, aku bingung mau ku apakan
informasi ini. Apa aku harus kesana untuk mencarinya?
Setelah selesai kuliah, aku dan Alfaro memutuskan
untuk bertemu dan memberikan kertas yang berisikan informasi tentang Reza. Dia
hanya melihat kertas itu dengan tersenyum.
“terus sekarang mau kamu gimana sekarang? Apa
kamu mau mencarinya ke alamat ini. Jika kamu ingin mencari alamat ini, mari
akan ku antar kamu ke tempat ini.”
Aku
hanya diam ketika Alfaro mengatakan itu. Apa dia serius mengatakan itu?
“sayang jika aku ingin ke tempat apakah kau benar
– benar tak marah padaku?”
“tidak, untuk apa aku marah padamu. Kamu ingin ke
temapat ini mari ku antar sekarang.”
“ya ampun sayang benar kau tak marah padaku?
Sebenarnya hatimu terbuat dari apa sih. Kamu begitu sabar menghadapi aku
sedikitpun kau tak cemburu.”
“(senyum), dulu aku kan pernah mengatakan bahwa
aku ingin kau bahagia dan tak kecewa esok. Aku ingin melakukan itu untukmu.”
“terima kasih buat semuanya, kau terindah.”
Air
mataku selalu berlinang ketika Alfaro mengatakan hal seperti itu. Betapa
beruntungnya aku memilikinya.
Kita
telah sampai di depan pintu gerbang alamat yang dimaksud. Sebelum aku turun,
Alfaro mengatakan sesuatu untukku.
“nah kita sudah sampai di tempat yang ingin kau
temui meski kau merasa masih sakit, apa yang ingin kau katakan saat bertemu
dengannya? Tapi ingatlah apapun yang ingin kau katakan jangan pernah
menyalahkannya atas smuanya yang terjadi. Dalam keadaan seperti ini tak ada
yang salah atau benar, yang ada hanyalah sebuah kejujuran yang tertunda dulu.
Mari kita turun dan hadapi bersama dan aku juga ingin bertemu dengan sang
malaikatmu yang pernah mengisi hatimu dulu meski malaikat ini membuat mu patah
hati.”
“iya sayang aku selalu ingat kata – katamu itu.”
Setelah
kita turun dari mobil dan menuju dalam rumah Reza dan tanpa terduga ternyata
tak ada di rumah itu dan pembantu Reza mengatakan bahwa Reza berada di rumah
sakit untuk pengobatannya. Seketika itu badanku terasa lemas tak kuat untuk
menompa badan ini. Langsung Alfaro membantuku untuk bangun dan segera
mengajakku menuju rumah sakit. “terima kasih bi, kita pamit dulu.”
Tanpa
berpikir panjang lagi kita menuju rumah sakit yang dimaksud. Sesampai di rumah sakit kita langsung menuju
kamar dimana Reza dirawat. Sebelum ku membuka pintu, aku seperti orang ragu –
ragu yang tak tau ingin melakukan apa. Ku buka pintu itu dan terkejutlah aku
ketika melihat Reza yang terbaring di tempat tidur itu.
“Reza?” tiba – tiba tanpa ku sadari aku menangis
seperti orang yang tak peduli lagi ada orang di sekitar. Kondisi Reza benar –
benar diluar dugaanku. Dia begitu lemas tak berdaya tapi masih berusaha untu
tersenyum meski itu dipaksakan.
”hai, kenapa kau menangis seperti ini. Aku tak
ingin melihat kau menangis seperti ini. Hapuslah air matamu itu. Kau tak pantas
untuk menangis, apalagi untuk seorang seperti aku ini. Ini pasti karena aku
seperti ini dan kau melihatku dengan rasa kasian. Oh ya ini pasti sang
malaikatmu sekarang yang telah baik menjagamu sampai saat ini. Terima kasih ya
kamu sudah mau menjaga Nindy sampai sejauh ini, semoga kalian selalu bersama
dan aku bahagia jika kalian bahagia. Kau telah bahagia Nindy jika bersamnya
jadi jagalah hubungan kalian jangan sampai ada penghalang di antara kalian jika
ada penghalang di antara kalian, aku orang pertama yang akan marah dan tak rela
dengan hal itu meskipun nanti aku telah jauh.”
Dan
seketika itu Alfaro menjawab percakapan Reza yang membuat hati tersentuh itu.
“terima kasih Reza, aku akan selalu menjaga Nindy juga untukmu. Semoga Tuhan
memberimu kekuatan dan kesembuhan dan tak seperti ini lagi. Ingatlah Reza Tuhan
akan selalu ada bersamamu jadi jangan lelah untuk meminta sesuatu pada-Nya. Tak
ada yang mustahil bagi-Nya.
“iya terima kasih ya, aku percaya itu. Aku titip
Nindy padamu, aku yakin kamu pasti bisa menjag dia sampai nanti, kau baik dan
penuh kasih dan itu yang Nindy butuhkan sekarang. Untuk Nindy terima kasih kau
telah mau bertemu denganku saat ini, dan jika ini pertemuan kita yang terakhir
kalinya, aku hanya bisa mengatakan maaf dulu aku pernah menyakitimu yang
sebenarnya kau tak patut untuk disakiti, karena hanya kata maaf yang dapat
kuberikan saat ini.”
“iya ya Reza udah sekarang kau jangan banyak
gerak dulu. Istirahatlah untuk pemulihan.”
Setelah
ku mengatakan itu tiba – tiba tak ada suara lagi. Detak jantung monitor pun
berubah menjadi garis mendatar, mulai resah ku menatapnya, menatapnya dengan
tangisan. Ku teriakkan nama dokter tapi semuanya ternyata sudah terlambat. Reza
pergi. Kini dia benar – benar pergi untuk selamanya dan tak pernah kembali lagi
di dunia ini. Malaikat bersayap rapuh yang Tuhan kirimkan untukku sekarang
benar – benar pergi untuk kembali dan menghadap Tuhan. Tak ada lagi malaikat
itu di kehidupanku, malaikat meski bersayap rapuh tapi sang malaikat cinta
pertama.
Ku
memagang pundak Reza dengan mengangis yang tiada henti. Merasa kehilangan Reza
meskipun menyakiti tapi dia setidaknya pernah ada untuk mengisi hati ini
walaupun hanya seperti sekejap mata. Ku memeluk Alfaro dan Alfaro menenangkan
ku di samping tubuh Reza yang telah terbujur kaku itu. “terima kasih Reza, aku
akan selalu ingat pesan terakhirmu untukku, aku akan selalu menjaga bersama
malaikatku saat ini, dan terima kasih selama ini kau telah berusaha untukku
meskipun aku tak memperdulikan usahamu akhir – akhir ini untukku.”
Aku
dan Alfaro datang ke pemakaman Reza. Tangisan ini tak bisa berhenti untuknya
meskipun tubuh Reza telah di makamkan. Alfaro menenangkanku dengan ucapannya
yang dapat menenangkan hati itu. “jika kamu masih menangis, tak apa menangislah
sepuasmu aku tak melarang. Janganlah kamu pendam, terasa sakit jika kamu pendam
tangisan itu.”
Seorang
ibu tiba – tiba menghampiriku dan Alfaro, ibu itu bertanya sesuatu. Ternyata
itu mama Alfaro.
“kamu pasti Nindy ya?”
“iya tante, tante siapa ya?”
“tante mamanya Reza.”
“oh mamanya Reza, iya tante ada apa ya?”
“Nindy, tante cuma mau bilang makasih kamu mau
jadi teman Reza meski tante belum pernah bertemu kamu, tapi tante yakin kamu
anaknya baik. Reza selalu cerita tentang kamu kalau kamu anaknya selalu ceria,
baik, dan tak suka yang aneh – aneh. Saat itu Reza pergi karena ada alasannya
dan kamu sekarang udah tau kan alasannya apa kenapa dia pergi, entah kamu tau
nya dikasih tau oleh Rezanya langsung atau kamu baru tau setelah kejadian ini
tapi tante tante tak peduli akan hal itu, yang terpenting terima kasih kamu
telah menjadi teman terhebat untu Reza selama Reza masih hidup.”
Setengah
jam aku dan Alfaro di makam Reza. Aku pulang dengan keadaan masih tak percaya
jika Reza akan pergi secepat ini dan dengan cara seperti ini.
“bagaimana apa kamu sekarang masih menyesal kalau
kita mencari keberadaan Reza dulu?”
“sempat menyesal, tapi tak untuk sekarang
ternyata dia mengirimkan ku surat itu adalah seperti pesan terakhir darinya,
kalau saja kamu tidak mendesakku untuk mencari keberadaan Reza mungkin aku
sekarang tak bertemu dia dan merasa menyesal sekali untuknya, terima kasih
sayang.”
“iya, jangan sekali – kali kau menyimpan kebencian untuk seseorang
terlalu lama, karena itu akan membuat mu sakit sendiri.”
Ku
melihat ke arahnya dengan senyum bahagia dan memegang tangannya dengan maksud
mengucapkan terima kasih untuknya.
10
Hari ini kira – kira empat
bulan kepergian Reza, dan dua tahun ku bersama Alfaro semakin tak terpisahkan
aku dengannya. Sudah terlalu sayang aku dengannya. Tak ada pikiran sedikitpun
pikiran akan perpisahan.
“hari ini kita dua tahun menjalani semua bersama,
semoga kita selalu seperti ini. Bertahan bersama. Aku ingin kamu selalu
denganku malam ini aku ingin kita makan malam bersama, aku jemput jam tujuh
malam ya.”
Malam
harinya aku dijemput oleh Alfaro jam tujuh tepat tak kurang tak lebih. Dia
mengajakku ke sebuah restoran romantis yang di dalamnya terdapat live musik
jazznya. Semakin mengesankan malam ini untukku. Ternyata Alfaro memberiku
sebuah cincin sebagai tanda terima kasih karena telah menemaninya selama dua
tahun ini. Begitu berharganya apa yang dilakukan Alfaro malam ini untukku.
“terima kasih sayang buat malam yang indah ini.
Aku takkan pernah melupakan malam terindah ini.”
“iya sayang sama – sama, meski aku bukan cinta
pertama yang kamu punya tapi aku tetap ingin berusaha yang terbaik untuk
menjadi pelabuhan cinta terakhir untukmu. Semoga kapal hatiku ini bisa selalu
berlabuh di pelabuhan hatimu dan takkan pernah terganti oleh kapal lainnya.”
Ucapan Alfaro itu seketika
membuatku kaget tak menyangka kalau dia akan mengatakan hal seperti itu. Tapi
itu yang ku suka darinya, dia selalu jujur untukku tanpa pernah ada kebohongan.
Dua
jam aku menghabiskan waktu dengannya, waktu yang tak terasa dan berputar cepat
jika menikmati waktu dengan seseorang yang kita sayangi.
Sampai
di depan rumah sebelum ku turun dari mobil. Sekali lagi ku ucapkan terima kasih
untuk malam yang indah ini yang telah Alfaro berikan untukku. semoga kita
seperti ini terus. “selamat malam sayang, aku akan selalu sayang kamu.”
“ini untuk pertama kalinya aku benar – benar
sayang sama seseorang. Jangan pernah kecewakan aku. Aku tak bisa jika kau
sakiti dan ini utuk pertama kalinya aku mendapatkan kenyaman bila bersama
seseorang.”
Di
kamar ketika ku melihat handphone seperti biasa Alfaro memberikan seuntai
kalimat. “ketika kamu merasa kesepian ingatlah ada bintang yang terang di atas
arsiran hitam yang akan menemani, sagu bulan terang juga ingin menemanimu jika
kau mengizinkan untuk bulan bersamamu juga, karena jika ingin bersamamu bulan
dan bintang harus memiliki keberanian. Tapi bulan dan bintang memiliki sejuta
kejutan dan rahasia bila kau ingin mencari rahasia itu. Percayalah rahasi itu
akan terpecahkan jika kau percaya dan berusaha. Tapi kau selalu menjadi
matahari penerang di kehidupanku, tinggal bagaimana saja aku bisa menyayangi
sang matahari kehidupanku dengan caraku sendiri.”
Keesokan harinya tak ada kabar dari Alfaro tapi aku
mencoba untuk berpikiran positif, coba akan ku tunggu samapai nanti sore semoga
dia memberi kabar. Ku menunggu sepanjang hari masih saja tak ada kabar darinya.
Ada apa dengannya kok tiba – tiba menghilang. Hingga ku menunggu beberapa hari masih
saja tak ada kabar darinya. Ada apa dengannya ya Tuhan? aku mencoba
menghubunginya tapi tak bisa. Aku mulai
khawatir untuknya.
Aku meminta Diffani untuk menemaniku ke rumah Alfaro
bermaksut untuk ingin tau mengapa dia tak ada kabar selama beberapa hari ini.
Setiba di rumah Alfaro, aku dan Diffani kaget karena ruah Alfaro tak seperti
biasanya ramai orang seperti itu. Aku masuk dengan hati tak tenang dan bertanya
– tanya “sebenarnya ada apa ini.”
”permisi saya mau cari Alfaro, apakah
Alfaro ada?”
“iya ini dengan siapa ya.”
“saya Nindy om, pacar Alfaro.” Ternyata
yang aku ajak ngobrol omnya Alfaro.
“oh Nindy, iya Nindy silahkan masuk Alfaro
ada di dalam.”
Ketika
ku masuk ke dalam rumah Alfaro betapa terkejutnya aku ketika melihat Alfaro
duduk bersandar di kursi roda. Shock dan panik yang ku rasakan sekarang. Aku
menangis tak bisad itahan air mata ini. Ku menangis di depan Alfaro dan
memeluknya.
“kamu kenapa menangis, tak usahlah
bersedih, ini sudah menjadi takdir Tuhan
aku harus seperti ini. Kamu sekarang bukan saja akan memiliki malaikat bersayap
rapuh tapi kamu akan memiliki malaikat yang tak bersayap.”
“tidak, kamu tetap malaikat bersayap
utuh yang dikirim Tuhan untukku. tapi kenapa kamu tak pernah cerita tentang ini
semua, kamu dulu mengatakan takkan pernah ada rahasia diantara kita, tapi
kenapa kamu merahasiakan semua ini kepadaku. Apa aku sudah tak berarti lagi
dimatamu sampai kamu merahasiakan ini semua.”
“aku takut, aku takut bila kejadian
seperti ini. Aku tak ingin melihat tetesan air matamu lagi, aku hanya ingin
melihat senyuman indah milikmu itu.”
“ya sudah lupakan. Aku tetap sayang
kamu. Aku akan menemanimu sampai kapanpun. Aku akan menemnimu sampai kamu
sembuh dan kita bersama – sama lagi seperti dulu dan aku janji akan selalu
berada di sampingmu kemanapun kamu mau.”
“terima kasih sayang.”
“kita kan bersama dan akan selalu
seperti itu. Mulai sekarang bila kamu ingin ke rumah sakit untuk mengecek
kesehatanmu biar aku yang menemanimu.”
“kamu lihat cincin ini yang kamu berikan
untukku, ini adalah janji mu untukku. kamu pasti kuat. Janji mu dalam cincin
ini akan selalu ada. Kamu akan menepati janjimu itu meskipun aku harus bersusah
payah untuk meminta janjimu itu. Aku tak peduli lagi dengan semua derita yang
kau punya. Bagiku ini buka sebuah penderitaan tapi ini adalah sebuah cobaan,
karena Tuhan sayng kita. Tuhan ingin menguji seberapa sabarkah dan seberapa saling
pedulikah kita, jadi aku akan selalu sabar menantimu dan menjagamu hingga kau
bisa duduk di bawah langit hitam bercorak bintang – bintang dan aku di sana
bersandar di pundakmu tanpa ada lagi tetesan airmata.”
Aku
menemani Alfaro hingga malam tiba, tak terasa jam terlalu cepat untuk berputar.
Aku meninggalkan Alfaro untuk kembali ke tempat berteduhku dan aku berjanji
padanya untuk esok aku akan kembali untuk menemaninya sepanjang hari.
Malam
harinya aku mengirim sebuah pesan untuk Alfaro. “ketika ketidak jujuran menjadi
masalah, tak ada sedikitpun kepercayaan. Melihat sedikit kebohongan rasa sakit
muncul. Melihat suatu hal yang menyakiti, melihat suatu yang membuat hati patah
dapat memiliki suatu yang aneh. Aneh yang kurasakan ketika melihat sesuatu yang
tak ingin ku lihat, tapi mengapa mata ini tetap saja ingin melihatnya sakit?
Pasti. Patah? Tentu saja. Obatpun langka dicari.”
“maaf aku tak jujur, aku tak tau
akan seperti ini, aku tak berpikir jika
kamu akan mengkhatirkanku seperti ini. Makasih dan maaf aku sudah tak bisa
jujur untuk ini. Setelah ini aku janji hanya ada kebahagiaan dan kejujuran tak
ada lagi kebohongan yang ku pendam.”
Keesokan
harinya setelah kuliah selesai, aku langsung menuju ke tempat Alfaro bermaksud
untuk merawatnya untuk hari ini. Ku melihat dia sedang duduk bersandar di kursi
rodanya. Aku menahan air mataku agar tak jatuh untuknya.
“hai sayang, bagaimana kabarmu hari ini,
sudah makan belum. Aku bawa makanan untukmu, kita makan bersama yuk.”
Dia
menjawab sapaan ku dengan nada lemas seperti orang tak bertenaga. “hai,
sempurna tak kurang sedikitpun. Kebetulan aku belum makan.”
“(senyum), okey aku suapin ya. Tapi harus
habis hlo awas aja kalo gak habis.”
“iya sayangku.”
Setelah
makan Alfaro mengatakan sesuatu padaku.
“sayang.”
“iya.”
“aku minggu depan mau operasi, apakah
kamu mau menemaniku sampai operasi selesai?”
“segitu cepatkah sayang kau ingin
melakukannya.”
“iya sayang aku ingin, karena aku ingin
menepati janjiku untukmu. Menemanimu di bawah percikan sinar bintang.”
“iya sayang aku akan selalu
mendampingimu hingga selesai. Kamu pasti kuat meski ku tau tanpa aku mengatakan
itu kamu kuat menghadapi semua ini. Kamu ada lelaki yang sempurna. Tuhan
menciptakanmu untuk menyempurnakan dunia, terutama di duniaku. Semangat ya
sayang doaku selalu meyertaimu.”
“makasih atas support yang kamu berikan
untukku. itu sangatlah berarti untukku.”
Hari
ternyata terhitung cepat. Tak terasa sudah seminggu. Hari ini saatnya dia
melakukan hal yang paling membuat kegelisahan dan kekhawatiran muncul. Aku
meminta Diffani untuk mengantarku ke rumah sakit untuk memberi semangat sebelum
di melakukan operasi. Tepat waktu sebelum dia masuk ke ruang operasi. “semangat
ya sayang, ingatlah Tuhan akan selalu ada di sampingmu, Tuhan akan
melindungimu. Tak usah gelisah karena Tuhan akan menolongmu slalu.”
“iya sayang terima kasih, aku yakin
itu.”
Aku
menunggu di luar ruang operasi dengan perasaan gelisah seperti orang bingung
gak karuan. Udah hampir tiga jam ku menunggu belum ada berita. Lampu merah di
ruang operasi belum berubah menjadi hijau. “ya Tuhan ku mohon selamatkan dia,
aku tak ingin kehilangannya. Aku tak ingin kehilangan orang yang aku sayangi
untuk kedua kalinya. Sudah cukup terjadi pada Reza, aku tak ingin Alfaro juga
menerimanya. Jika kau ingin mengambilnya kali ini, inikah cara-Mu Tuhan untuk
menunjukkan keadilan-Mu. Tapi tolong Tuhan jangan ambil dia dariku, aku masih
membutuhkannya dan ingin selalu bersamanya.”
Akhirnya
setelah menunggu hampir lima jam, lampu berubah menjadi hijau. Pertanda operasi
telah selesai dan berhasil. “terima kasih Tuhan, inilah kuasa-Mu yang telah kau
berikan padaku. Aku janji akan menjaganya hingga nanti, esok, dan selamanya.
Aku takkan mengecewakannya.”
Ku
menunggu saat dia dibawa ke ruang perawatan. Butuh waktu semalaman kira – kira
untuk menantinya. Aku terus melihatnya dari balik jendela, dengan setengah sadar dia berkata
“aku tak apa, aku baik – baik saja. Tak usah khawatir, aku akan menyusulmu
disitu.” Terpejamlah matanya setelah mengatakan itu. Untuk semalaman aku pun
tak bisa tidur. Diffani terus menemaniku. Dia menemaniku begadang pula
semalaman.
Keesokan
harinya sekitar pukul delapan pagi, akhirnya Alfaro akan dipindah ke ruang
perawatan. Betapa lega hati ketika melihatnya. Di ruang perawatan aku berbicara
banyak dengannya.
“betapa khawatirnya aku ketika melihat
kamu sempat tak ada kemarin di ruang operasi. Ku menunggumu hampir lima jam
dengam rasa takut dan gelisah.”
“tapi tidak kan. Aku sekarang ada di
sini untukmu sekarang, karena aku mempunyai janji denganmu, dan untuk Diffani
makasih ya kau mau menemani Nindy sang matahariku. Kau adalah sahabat terindah
yang Nindy punya. Sekali lagi makasih ya atas semuanya.”
Untuk
beberapa hari ini aku bolak balik rumah sakit karena ingin merawat Alfaro. Aku
ingin dia cepat pulih. Semakin hari semakin menunjukkan perubahan, perubahan
yang membaik. Kalau seperti ini terus aku yakin pasti dalam tiga hari, Alfaro
akan pulang.
Ternyata
empat hari, tak apalah tambah sehari saja. Mobil jemputan Alfaro pun datang. Di
dalam mobil Alfaro mengatakan sesuatu “maaf Nindy aku belum bisa mengajakmu ke
tempat taburan bintang itu karena aku masih butuh pemulihan, tapi aku janji
begitu pulih aku akan mengajakmu ke tempat itu.”
“sudahlah jangan kamu pikirkan hal itu.
Aku tak masalah, yang harus kamu pikirkan sekarang adalah kesehatan dan
pemulihanmu supaya kita bisa menikmati bintang bersama lagi.”
Berselang
seminggu kemudian, Alfaro telah selesai dari masa pemulihannya, dan dia
mengajakku ke tempat itu sesuai dengan
janjinya seminggu yang lalu. Saat aku duduk di sampingnya, nyaman yang
kurasakan.
“Aku telah menepati janjiku. Aku telah
mengajakmu ke bawah langit hitam bertabur bintang dengan aku disampingmu dan
kamu bersandar di pundakku. Aku bisa disini juga berkat dukungan darimu dan doa
yang tak putus darimu pula.”
“iya kau sudah menepati janjimu, terima
kasih kau telah menepati janjimu. Sayang aku mohon ya jangan pernah tinggalin
aku. Aku terlalu sayang kamu. Aku terlalu takut kehilanganmu”
“iya sayang pasti, aku juga.”
Aku
dengannya menikmati jutaan bintang dengan cinta kita yang tak pernah hilang
sedikitpun seperti bintang – bintang di langit.